Seri MAMDANI EFEK (Bagian 2)OLIGARKI DI INDONESIA: SEMUA LAWAN? ADAKAH KAWAN?

Oleh: Edy Mulyadi ( Wartawan Senior )
Jakarta, 1 Juli 2025
Di Indonesia, oligarki bukan mitos. Bukan teori konspirasi. Mereka nyata, berwujud. Oligarki menguasai hampir seluruh aspek kehidupan bangsa. Dari tambang sampai layar kaca. Dari istana hingga gedung parlemen. Mereka adalah segelintir elite ekonomi yang berselingkuh dengan elite politik. Gerombolan ini membentuk kekuasaan superbesar yang tidak bisa disentuh hukum. Seolah-olah oligarki itu sendirilah hukum.
Selama ini kita diajari untuk percaya bahwa negara ini dipimpin oleh presiden. Rakyat dijejali doktrin, parlemen anggota yang dipilih rakyat. Tapi faktanya, yang menentukan arah negeri ini adalah para pemilik modal. Kelompok 1% yang mengendalikan 99% sumber daya bangsa.
Siapa Mereka?
Oligarki di Indonesia terdiri atas jaringan kuat para taipan konglomerat, pengusaha tambang, pengembang properti, pemilik media, dan pemilik konsesi hutan serta energi. Mereka punya kekuatan ekonomi superbesar dan akses langsung ke jantung kekuasaan.
Di sektor tambang, mereka menguasai konsesi batu bara, nikel, emas, dan migas. Ada sejumlah nama beken yang malang melintang di sini, lokal maupun asing. Hampir semua nama tenar yang wara-wiri di ruang publik jadi bagian dari kelompok ini.
Selama 10 tahun Jokowi berkuasa, para pengusaha RRC dapat karpet merah. Mereka kuasai smelter nikel di Morowali dan Konawe. Juga di Maluku Utara.
Jejak mereka ada sektor properti dan reklamasi. PIK 2, Meikarta, Rempang, dan IKN adalah beberapa saja di antaranya. Orang-orang itu membentuk konsorsium dengan pejabat dan para jenderal pensiunan. Rakyat digusur, tanah diambil paksa, dan aparat dikerahkan untuk amankan investasi.
Di sektor media, mereka punya koran, TV, dan portal berita. Dari sini kelompok serakah ini membentuk opini publik, membungkam kritik, dan mengarahkan narasi sesuai kepentingan.
Di sektor keuangan dan perbankan, mereka bermain di balik subsidi, utang luar negeri, dan proyek BUMN. Bisa disebut ada jejak oligarki di nyaris semua keputusan besar negara seputar ekonomi dan bisnis. Siapa yang untung? Mereka lagi, mereka lagi.
ParTAI Politik: Makelar Kepentingan Oligarki
Jangan berharap partai politik melawan oligarki. Justru partai-partai besar saat ini sudah menjadi operator bisnis kekuasaan. Mereka jual tiket pencalonan. Pasang tarif untuk posisi menteri. Ikut bermain bahkan mengatur proyek lewat para broker politik.
Akibatnya, partai tidak lagi jadi alat perjuangan ideologis. Ia berubah jadi kendaraan sewaan. Bisa ditumpangi dsn disupiri siapa saja, asal mampu bayar mahar. Rakyat? Tidak penting. Yang penting: uang logistik, survei, dan iklan politik.
Ini sebabnya tidak ada satu pun partai yang benar-benar menolak UU Omnibus Law, UU Minerba, atau proyek IKN. Padahal semuanya merugikan rakyat. Semuanya memberi karpet merah ke oligarki.
Lalu bagaimana dengan pemilu? Apakah itu ruang perlawanan? Secara formal, iya. Tapi secara real, pemilu kita sudah dikooptasi sepenuhnya oleh kekuatan modal. Siapa pun yang ingin nyalon, harus punya dana besar. Tidak perduli mau jadi apa; anggota DPR, kepala daerah sampai presiden.
Bagaimana jika tidak punya modal? Ya harus cari sponsor. Mereka harus sowan dan bernegosiasi dengan konglomerat, pengusaha tambang, pengembang properti, atau bandar proyek.
Artinya? Siapa pun yang menang, nanti akan bayar utang politiknya ke oligarki. Bukan ke rakyat. Mereka sudah diijon sejak awal oleh oligarki.
Rakyat hanya diminta datang ke TPS. Habis itu, dilupakan. Negara kembali dijalankan untuk melayani yang membiayai kekuasaan.
Media & Hukum: Alat Legitimasi, Bukan Keadilan
Oligarki juga pegang media. Kita tahu siapa pemilik media-media mainstram. Jangan harap berita-berita tentang proyek tambang ilegal, penggusuran rakyat, atau konflik lahan ditayangkan utuh. Kalau menyangkut pemilik, berita bisa direkayasa, dibungkam, atau dibelokkan.
Lalu hukum? Coba lihat siapa yang dikriminalisasi dan siapa yang dibiarkan bebas. Aktivis ditangkap karena tolak tambang. Warga Rempang dipukul karena mempertahankan kampungnya. Tapi bos-bos besar yang rampok APBN, atau serobot tanah puluhan ribu bahkan ratusan ribu hektar, tidak tersentuh. Di Indonesia, hukum jadi alat tukar dan alat tekan.
Masih Adakah Ruang Perlawanan? Masih. Tapi sempit. Ruang itu hanya bisa dibuka kalau rakyat sadar siapa musuhnya. Kita tidak sedang melawan tetangga beda agama. Bukan saudara beda pilihan capres. Kita sedang melawan sistem yang dikuasai para penghisap sumber daya bangsa.
Di New York Mamdani terbukti bisa. Mestinya di Indonesia kita juga bisa. Tentu saja ada syaratnya. Publik harus sadar. Kalau kita sadar, baru kita bisa mulai membangun kekuatan alternatif. Gerakan yang tidak bisa dibeli. Politik yang tidak bisa disogok. Media yang tidak bisa disewa.
Itulah jalan yang ditempuh Mamdani di New York. Dia membangun kekuatan akar rumput melawan raksasa properti dan jaringan kepentingan. Ia menolak tunduk. Dan menang.
Dan itu pula jalan yang harus kita tempuh di Indonesia. Lepas dari para bandar. Dari oligarki. Itu jika kita benar-benar ingin merdeka.
Kalau hari ini kita masih diam, besok yang digusur bukan hanya kampung nelayan atau petani. Tapi mungkin kampung kita. Rumah kita. Tanah kita. Negara kita!.