
Oleh : Anung Hidayah
Di tahun ke-80 kemerdekaan Indonesia, kita dihadapkan pada sebuah ironi: bendera bajak laut dari dunia fiksi berkibar lebih semangat daripada Sang Saka Merah Putih. Di jalan-jalan, di media sosial, bahkan di lingkungan perumahan, logo tengkorak bertopi jerami milik Luffy dan kru Topi Jerami dari One Piece menjadi pemandangan yang semakin lumrah menjelang peringatan 17 Agustus.
Sekilas, ini mungkin tampak sepele. Sekadar tren anak muda. Fandom. Gaya hidup. Namun jika diamati lebih dalam, fenomena ini adalah refleksi sosial yang tidak bisa dianggap remeh.
Pengibaran bendera One Piece bukan sekadar soal popularitas anime atau kekuatan komunitas penggemar. Ini adalah simbol pencarian makna—tentang kebebasan, keadilan, dan keberanian melawan ketidakbenaran—yang tak lagi ditemukan dalam simbol-simbol resmi negara. Dalam narasi One Piece, Luffy bukanlah bajak laut perampok. Ia adalah pemimpin idealis yang melawan sistem bobrok, menyelamatkan yang lemah, dan selalu memilih yang benar walau melawan arus. Nilai-nilai ini kini terasa lebih nyata bagi banyak anak muda dibanding pidato pejabat atau upacara bendera yang hampa makna.
Kita tidak sedang membicarakan tentang pelanggaran protokol upacara semata. Kita sedang membicarakan tentang krisis kepercayaan terhadap simbol formal negara. Ketika generasi muda lebih memilih mengibarkan bendera bajak laut ketimbang Merah Putih, itu bukan bentuk pengkhianatan. Itu adalah teriakan diam: bahwa kemerdekaan yang diwariskan tak sepenuhnya mereka rasakan.
Tentu, kita harus tetap menjunjung tinggi lambang negara dan hukum yang mengaturnya. Namun menghadapi simbol tandingan dengan kekakuan administratif tidak akan menyelesaikan apapun. Yang harus kita tanyakan adalah: mengapa bendera Merah Putih terasa tidak lagi bermakna bagi sebagian rakyat? Mengapa anak muda merasa nilai-nilai perjuangan lebih hidup dalam tokoh fiksi ketimbang dalam realitas politik, hukum, dan keseharian mereka?
Jika negara merasa terganggu dengan fenomena ini, maka respons yang dibutuhkan bukan sekadar penertiban, tapi refleksi dan perbaikan menyeluruh. Kembalikan makna kemerdekaan ke tangan rakyat. Hadirkan keadilan. Buka ruang partisipasi. Ajak generasi muda bicara bukan hanya tentang sejarah kemerdekaan, tapi juga tentang masa depan kebangsaan.
Karena jika negara gagal menghadirkan nilai-nilai yang ia wakili, maka rakyat akan mencari simbol baru—yang jujur, membumi, dan memberi harapan. Hari ini itu adalah bendera One Piece. Besok? Mungkin lebih dari itu.
Dan saat itu terjadi, pertanyaannya bukan lagi tentang siapa yang mengibarkan bendera, tapi tentang siapa yang sudah terlalu lama tidak mendengar suara dari bawah tiang bendera itu sendiri.