Opini

HARUSKAH REVOLUSI SOSIAL  ?

Oleh: M Rizal Fadillah ( Pemerhati Politik Dan Kebangsaan )

Bandung, 18 Agustus 2025

Sudah tiga model revolusi diwacanakan untuk memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu revolusi mental Jokowi, revolusi moral Amin Rais, dan revolusi akhlak Habib Rizieq. Namun ketiganya belum mendapat respon nyata dalam tataran aplikasi. Menggema di udara sepi di darat, bahkan tenggelam di laut. Dibungkam Kepolisian yang semakin merambah.

Jokowi yang paling parah, revolusi mental bukan saja mental alias melambung justru merusak mental. Omong dan kerja tidak nyambung apalagi omong kerja, kerja, kerja persis seperti PKI. Simbolisasi Jokowi adalah hidung panjang Pinokio atau Petruk. Pinokio anak nakal pembohong, Petruk dadi Ratu. Petruk asal warga biasa yang berubah jadi ratu  berkarakter penipu, korup, dan lupa diri. Ingin duduk berkuasa dan menguasai terus menerus.

Amin Rais dan Habib Rizieq dengan revolusi moral dan akhlak belum mampu memandu masyarakat untuk bergerak. Karena mungkin ruang lingkup masih berada pada domein normatif. Moral dan akhlak aspek nilai baik dan buruk serta tata laku. Gerakan moral rakyat yang dicoba dicanangkan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) ternyata juga mentok. Rakyat tidak bergerak.

Revolusi di berbagai belahan dunia apakah Revolusi Bolshevik, Revolusi Perancis, Revolusi Amerika, Revolusi Kuba, Revolusi Cina, maupun Revolusi Iran berangkat dari perpaduan rasa dengan rakyat. Rakyat tertindas yang sangat  butuh terjadinya perubahan. Revolusi sosial mengawali revolusi politik. Perubahan fundamental dan sistemik.

Revolusi Indonesia 1945 berada di ruang dilema antara ketertindasan dan perubahan politik global, kekalahan Jepang. Reformasi 1998 adalah soft revolution pergantian rezim Soeharto untuk menumbuhkan otoritarian klaster baru yang bernama oligarki. Jokowi adalah puncak proses hingga menjadi ratu oligarki bersama Ketum Partai dan Naga Cina.

Prabowo tidak mampu menjadi antitesa jokowi bahkan nampak potensial untuk menjadi pelanjut dari klaster oligarki yang menginjak demokrasi. Sama dengan rezim Jokowi Prabowo dipandang rakyat sebagai rezim omon-omon. Ombes atau omong besar namun bukti ompong. Rakyat diiming-imingi harapan akan ada perubahan kelak.

Kondisi yang membuka peluang bagi revolusi sosial pada umumnya adalah kekuasaan yang terpusat atau semata berada di lingkungan istana, lembaga perwakilan rakyat mandul, kesenjangan tinggi antara pejabat dan rakyat, kepedulian sosial artifisial, krisis politik dan ekonomi, pajak rakyat mencekik, daya beli rendah serta pengangguran yang melesat.

Revolusi sosial hakekatnya adalah kenekadan masyarakat atas ketidakpercayaan kepada rezim yang ada. Ini yang harus diwaspadai oleh Prabowo, kalau Jokowi sudah pasti. Andai secara formal ia masih menjabat, habislah Jokowi. Kini hanya kukunya saja yang ia coba untuk ditancapkan.

Kasus kenekadan masyarakat Pati atas kenaikan pajak 250 % menjadi fenomena. Arogansi raja kecil Bupati menjadi pemicu munculnya gerakan rakyat. Tentu belum mampu menjadi embrio dari revolusi sosial, akan tetapi itu gambaran tentang miniatur yang memungkinkan.

Kiranya Prabowo dan rezimnya belajar bagaimana cara kembali ke pangkuan rakyat setelah berkelana di kuasa konglomerat dan mafia politik yang jahat.
Sebelum semua menjadi terlambat.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button