Opini

Banyak Aktivis Dan Pegiat Sosial Ditahan Pasca Demo Kemarin, UU ITE (Kembali) Makan Korban ?

Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes. ( Pemerhati Telematika, Multimedia, AI Dan OCB Independen )

Jakarta, 8 September 2025

Sejak disahkan tanggal 21 April 2008 silam oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) karena kebutuhan adanya Undang-undang yang lebih spesifik soal Teknologi Informasi (TI) dibanding UU Telekomunikasi No 36 Tahun 1999 yang sudah dianggap tidak mampu menangani kasus-kasus TI yang mulai marak di masyarakat, UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE 2008) ini awalnya disusun berdasarkan 2 (dua) konsep sekaligus, yakni Rancangan UU Informasi Elektronik Transaksi Elektronik (RUU-IETE) dan Rancangan CyberLaw-nya Indonesia.

Dengan latar belakang: kebutuhan regulasi transaksi elektronik (e-commerce, tanda tangan digital, keamanan data), UU ITE ini awalnya lebih bertujuan untuk mengatur dan mengakui dokumen elektronik sebagai alat bukti sah, Mengatur transaksi elektronik, tanda tangan digital, penyelenggara sistem elektronik. Namun karena sejak awal ada konsep CyberLaw-nya juga, maka didalamnya ada delik pidana, misalnya Pasal 27 ayat (3): pencemaran nama baik melalui media elektronik, Pasal 28 ayat (2): penyebaran kebencian/permusuhan berdasarkan SARA dan Pasal 29: ancaman kekerasan dan menakut-nakuti dengan Ancaman pidana: bervariasi, 6–12 tahun penjara dan Denda Rp 1–12 miliar saat itu.

Dikarenakan sejak lahir ada pasal-pasal yang memuat delik pidana diatas inilah, maka UU ITE kerap dikritik karena banyak dipakai untuk kriminalisasi warga, aktivis, jurnalis, bahkan ibu rumah tangga. Dua contoh yang sempat viral / terkenal diantaranya adalah kasus Prita Mulyasari (2008–2012) dimana dia sempat mengeluhkan layanan RS Omni Internasional Tangerang lewat email pribadi dan digugat dengan Pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat (3)). Sempat ditahan selama tiga minggu, meski kemudian bebas lewat MA. Menariknya kasus yang saya terlibat langsung selaku Ahli yang membelanya ini sempat memunculkan gerakan publik “Koin untuk Prita”. Kemudian ada kasus Florence Sihombing (2014) seorang mahasiswa UGM Jogja yang memposting komentar negatif di Path soal SPBU Yogya. Dia dijerat Pasal 27 ayat (3), ditahan sehari, kasus dicabut setelah mediasi.

Kasus-kasus diatas mendorong dilakukannya Revisi Pertama UU ini menjadi UU No. 19 Tahun 2016 yang dsahkan tanggal 25 November 2016 oleh Presiden Jokowi, dimana alasan utama dilakukannya revisi pertama ini karena banyak kritik akibat UU ITE dipakai kriminalisasi, terutama Pasal 27 ayat (3). Secara detail perubahan krusial untuk Pasal 27 ayat (3) ini tetap ada, tapi dijelaskan lebih ketat, dimana delik aduan absolut (hanya bisa diproses bila ada pengaduan langsung dari korban) dan dilakukan pengurangan ancaman hukuman dari 6 tahun menjadi 4 tahun penjara.dan Denda yang semula Rp1 miliar diturunkan jadi Rp750 juta. Selain itu ada penambahan aturan “Right to be forgotten” (hak penghapusan konten atas putusan pengadilan).

Beberapa perkara yang masih muncul pasca revisi pertama ini antara lain adalah kasus Baiq Nuril (2017–2019) seorang pgawai honorer NTB yang sempat mrekam pembicaraan kepala sekolah yang melecehkannya. Ddia sempat dilaporkan balik dan divonis 6 bulan penjara, denda Rp500 juta, namun akhirnya mendapat Amnesti Presiden 2019. Selanjutnya ada kasus Artis I Gede Ari Astina alias Jerinx SID (2020), seorang Musisi yang menulia komentar keras “IDI kacung WHO” di IG. Jerinx kemudian dijerat dengsn Pasal 28 ayat (2) & 27 ayat (3) dan divonis 1 tahun 2 bulan penjara. Selain itu masih ada veberapa aktivis & jurnalis (2020–2023) diantaranya Dedy Susanto (aktivis Papua), Ravio Patra (penulis kebijakan publik), dan belasan orang lain dilaporkan dengan pasal 27 atau 28 UU ITE.

Setelah berjalan lebih dari 16 (enambelas) tahun sejak awal (2008) dan delapan tahun saat direvisi pertama tahun 2016 sebelumnya, akhirnya UU ITE ini kembali mengalami Revisi Kedua menjadi UU No. 1 Tahun 2024 dan disahkan tanggal 2 Januari 2024, namun masih banyak kritik lanjutan atas “pasal karet” ITE yang kerap menjerat aktivis, jurnalis, oposisi. Revisi antara lain terdapat di Pasal 27 ayat (3): diganti jadi Pasal 27A, rumusan lebih ketat (Hanya mengatur pencemaran nama baik antara pribadi (tidak bisa dipakai oleh pejabat negara/korporasi).Ancaman pidana juga makin turun: 2 tahun penjara / denda Rp500 juta.Sedangjan di Pasal 28 ayat (2): tetap melarang ujaran kebencian SARA, tapi diberi batasan agar tidak multitafsir. Kemudian Pasal 28 ayat (1): larangan penyebaran hoaks yang menimbulkan kerugian lebih diperjelas definisinya agar tidak seenaknya digunakan. Namun pasal 32 dan 35 rupanya terlewat direvisi sehingga bisa digunakan untuk kriminalisasi.

Setelah kejadian Demo besar tanggal 25, 28 dan 29 Agustus 2025 yang saat tulisan ini dibuat sudah jatuh 10 (sepuluh) korban jiwa, mulai dari Affan Kurniawan (21 tahun, Driver Ojol, gugur di Jakarta pada 28 Agustus 2025), kemudian Muhammad Akbar Basri (26 tahun, Staf DPRD Makassar. Meinggal pada 29 Agustus 2025), juga Sarinawati (26 tahun, Staf pendamping anggota DPRD Makassar. Meninggal pada 29 Agustus 2025). Ada juga Saiful Akbar (43 tahun Plt Kepala Seksi Kesra Kecamatan Ujung Tanah. Wafat pada 29 Agustus 2025). Kemudian Rusdamdiansyah (25 tahun Pengemudi ojek online di Makassar. Meninggal pada 29 Agustus 2025)l .Disusul Sumari (60 tahun, Tukang becak asal Solo.Wafat pada 29 Agustus 2025). Selanjutnya Rheza Sendy Pratama (21 tahun Mahasiswa Amikom Jogja. Gugur pada 31 Agustus 2025. Juga ada Andika Lutfi Falah (16 tahun Siswa SMK Negeri 14 Kabupaten Tangerang. Meninggal pada 31 Agustus 2025) disusul Iko Julianto Junior (19 tahun Mahasiswa FH Universitas Negeri Semarang. Meninggal pada 31 Agustus 2025. Terakhir ada Septinus Sesa – Warga Manokwari yang Meninggal pada 29 Agustus 2025.

Namun selain 10 Korban Jiwa diatas, terdapat juga beberapa Korban UU ITE didamping KUHP yang dituduhkan kepada Para Aktifis dan Pegiat Sosial Indonesia. Mereka adalah Delpedro Marhaen (Direktur Lokataru Foundation yang ditangkap pada 1 September 2025). Pasal yang disangkakan: Pasal 160 KUHP (penghasutan) dan/atau ketentuan terkait UU ITE (Pasal 28 ayat (3) jo Pasal 45A) serta UU Perlindungan Anak (Pasal 76H jo Pasal 15 jo Pasal 87). Ada juga Muzaffar / Mujaffar Salim (Staf Lokataru, ditangkap 2 September 2025).Pasal yang disangkakan: sama dengan Delpedro. Dikota lain ada Syahdan Husein yang diidentifikasi sebagai aktivis / admin akun “Gejayan Memanggil”. Dikabarksn ditangkap di Bali. Pasal yang disangkakan juga sama: Selain itu ada Khariq Anhar (KA), Mahasiswa Universitas Riau) atau Admin akun terkait Aliansi Mahasiswa Penggugat (AMP). Ditangkap pada 29 Agustus 2025. Pasal yang disdisangkakan juga sama dengan yang sebelumnya diatas.

Berikutnya ada sosok “RAP / ‘Prof. R’” terkait dengan pembuatan/penyebaran video tutorial pembuatan molotov dan disebut “koordinator molotov” Ditangkap pada 2 September 2025. Kemudian ada “FL” / Figha / Figha Lesmana (akun TikTok @fighaaaaa / variasi) ditngkap 3 eptember 2025. Selanjutnya adalah Laras Faizati Khairunnisa staf/Communication Officer Majelis Antar-Parlemen ASEAN (AIPA / ASEAN Inter-Parliamentary Assembly) ditangkap di rumahnya Cipayung pada 1 September 2025; dianggap memprovokasi pembakaran Mabes Polri. Masih ada juga Saiful Amin (alias “Sam Oemar”) Orator dari Kedir. Dtangkap 2 September 2025 (
Pasal yang disangkakan: Pasal 160 KUHP (penghasutan / ajakan pada perbuatan tidak taat).

Kesimpulannya, peristiwa Demo akhir Agustus kelabu kemarin banyak makan korban. Selain 10 (sepuluh) Korban Jiwa juga banyak Korban para Aktivis dan Pegiat Media sosial yang lagi-lagi dijerat dengan UU ITE selain Pasal 160/KUHP tentang Penghasutan. Beberapa diantara “korban UU” tersebut banyak disebut telah dikriminalisasi karena penerapan UU ITE yang tidak sesuai, baik penerapan pasalnya maupun proses penangkapannya. Dikhawatirkan hal ini justru salah menyasar Tokoh-tokoh yang dikenal kritis dan memilih sikap Oposisi dibanding dengan banyaknya Ujaran kebencian bahkan Ajakan melawan Presiden Prabowo seperti yang dilakukan oleh Gerombolan YouTuber “Ceboker Nusantara” yang jauh lebih vulgar, bahkan kampungan. Masyarakat harus waspada karena mereka inilah yang seharusnya dikenakan UU ITE dan Pasal 160 KUHP, bukan malah Para Aktivis diatas. At last but not least, jangan kendor untuk tetap #AdiliJkW dan #MakzulkanFufufafa

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button