OpiniPolitik

61 Tahun Golkar, Saatnya Kembali Ke Khittah : Apa Kepemimpinan Perlu Dievaluasi ?

Jakarta, 20 Oktober 2025

Tanggal 20 Oktober 2025 menandai 61 tahun lahirnya Partai Golkar, sebuah momentum yang bukan dirayakan secara seremonial saja, melainkan juga perlu dijadikan refleksi kritis tentang apa bagaimana motivasi sejarah kelahirannya dan tujuannya dilahirkan.

Dalam rangka refleksi kritis itu, kami mewawancarai tokoh muda kader Partai Golkar Azis Narang, pada Minggu sore (19/10/2025) di Jakarta. Azis adalah salahsatu Wakil Sekjen SOKSI dibidang Pendidikan Politik Kader Bangsa— organisasi yang lahir dari rahim TNI AD pada 20 Mei 1960 didirikan oleh Mayjen TNI (Purn) Prof.Dr.Suhardiman,tokoh pendiri Sekber Golkar pada 20 Oktober 1964 dan mantan wasekjend DPP KNPI.

Dalam refleksi kritis ini, Azis Narang mengawali dengan pertanyaan besar : “Apakah Partai Golkar hari ini memerankan dirinya masih sebagai kekuatan ideologis politik karya kekaryaan untuk membangun negara sebagaimana doktrin perjuangannya , jatidirinya atau khittahnya ?

Azis juga mengingatkan fakta sejarah, mengapa Golkar lahir bukan sebagai partai politik ? Setiap kader tentu memahami Golkar lahir sebagai bentuk kritik keras dan koreksi terhadap partai -partai politik yang ketika itu berorientasi kekuasaan semata. Jadi politik Golkar bukan politik kekuasaan tetapi adalah politik negara yang berorientasi karya kekaryaan sebagai implementasi Pancasila untuk membangun negara.

Doktrinnya “karya siaga gatra praja” dan Golkar adalah “Benteng Pancasila”. Sebagai kekuatan sosial politik yang eksis dengan platform politik mengawal tegak utuhnya NKRI berdasar Pancasila dan UUD 1945 terutama dari ancaman PKI ketika itu, paparnya.

Kini di usia 61 tahun Golkar, sejarah tahun 60-an itu terulang kembali, sejak sistem demokrasi yang makin liberalistis dalam 10 tahun terakhir ini, umumnya partai-partai politik termasuk Partai Golkar telah tergelincir dan larut menjadi bagian dari politik kekuasaan pragmatisme transaksional.

Eksesnya rakyat merasakan kedaulatannya yang semestinya menurut UUD 1945 berada di tangan rakyat , tetapi nyatanya saat ini sudah bergeser ke tangan para pimpinan Partai politik dan oligarki. Hukum makin dikooptasi oleh kekuasaan , dan Korupsi berikut mafia makin merajalela di berbagai sektor kehidupan rakyat. Harapan rakyat untuk kemajuan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia praktis terhambat hingga terjadilah paradoks Indonesia yang makin dalam sebagaimana telah ditulis dengan jelas di dalam buku “Paradoks Indonesia” oleh Bapak Prabowo pada tahun 2017 lalu. Indonesia kaya raya sumber daya alam tetapi mayoritas rakyat belum makmur alias masih miskin, ujarnya.

Menghadapi realitas sosial politik itu, menurutnya Partai Golkar dan seluruh rakyat patut bersyukur atas komitmen dan visi besar Presiden Prabowo Subianto untuk menjawab Paradoks Indonesia itu dengan Astacita.

Sejalan dengan itu, menurut Azis Partai Golkar seharusnya mampu membaca momentum dengan menangkap visi besar itu untuk segera kembali bertransformasi kepada khittahnya – politik negara dengan ideologi politik karya kekaryaan serta merta meninggalkan politik kekuasaan pragmatisme yang pernah dikoreksinya dalam motivasi sejarah kelahirannya. Konsekuensinya pimpinan Partai Golkar, teorinya harus mampu membuktikannya dan paling minimal harus mampu sebagai pelopor memperjuangkan suara rakyat sehingga ia sungguh hadir di hati rakyat sekaligus mampu mempelopori segera reformasi politik, hukum dan ekonomi dalam paradigma politik negara untuk mewujudkan visi besar Presiden.

Persoalan besarnya, apakah kepemimpinan Ketua Umum Partai Golkar hari ini dapat dinilai perform dan hadir di hati rakyat ?
Menjawab pertanyaan besar itu, Azis mengatakan, jika kita bicara jujur dalam menilainya, dengan segala maaf : “sosok kepemimpinan saudara Bahlil Lahadalia terlebih pada saat ini sedang menghadapi krisis serius di mata publik — dan itu bukan kesan elitis, melainkan terekam secara kasat mata di ruang publik bawah dan melalui media publik.

“Fakta bahwa mayoritas publik membully saudara Bahlil secara terbuka — dari isu LPG 3 kg, dugaan plagiat tesis Doktor di UI, eksploitasi tambang nikel di Raja Ampat Papua dan penambangan pulau -pulau kecil, hingga sorotan atas jaringan SPBU Swasta— menandakan satu hal : rakyat tidak merasa sedang dipimpin oleh figur yang mereka percaya.”

Bahkan, kata Azis, nama beliau kini muncul dalam daftar teratas tokoh yang dinilai dan didesak publik untuk segera direshuffle oleh Presiden Prabowo, karena publik menilainya tidak perform. Bila itu bukan sinyal bahaya kepemimpinan, lalu apa lagi ?

Azis menambahkan bahwa problemnya tidak semata pada reputasi personal, melainkan gagalnya Bahlil menterjemahkan ideologi politik Partai Golkar ke dalam tindakan nyata membela rakyat.

Golkar sebagai penganut ideologi politik karya kekaryaan — mestinya proaktif memecahkan problem rakyat, bukan hanya menonton atau mengomentari apalagi jika mempersoalkan problem. Namun Fraksi Partai Golkar di DPR justru tidak terlihat menjadi ujung tombak suara rakyat seperti taglinenya dalam berbagai isu besar nasional.

“Isu proyek PSN yang merampas ruang hidup masyarakat lokal, pagar laut, skandal mafia migas, pertambangan illegal dan transfer pricing, ,urgensi RUU Perampasan Aset , kasus dugaan pencucian uang seperti Rafael Alun cs, kasus dugaan CSR BI – OJK & DPR, isu fasilitas mewah berlebihan DPR— Partai Golkar tidak tampil memimpin narasi publik. Padahal jika Golkar komit dan konsisten dengan khittahnya seharusnya menjadi penjaga hajat hidup rakyat terbesar,” tegas Azis.

Bahkan yang lebih mengkhawatirkan, dalam debat isu subsidi LPG 3 Kg antara Menkeu Purbaya dengan Menteri ESDM yang notabene Ketum Golkar, publik menangkap kesan saudara Bahlil justru tidak pro transparansi publik, dan bahkan terkesan mengerahkan kadernya Misbakhun Ketua Komisi XI untuk menyerang Menkeu Purbaya dengan naif dan sesat, seolah-olah Menteri Keuangan hanya sekadar juru bayar subsidi tanpa berwenang mengawasi keuangan negara.
“Itu bukan saja tidak cerdas secara politik. Itu justru anti kesadaran publik modern yang menuntut transparansi dan akuntabilitas publik. Di zaman transparansi, sikap menutup data justru dibaca publik sebagai ketakutan atau konflik kepentingan.” Ini menggerus simpati dan kepercayaan rakyat terhadap Partai Golkar.

Lebih lanjut Azis kemudian masuk pada isu yang menurutnya merupakan garis batas paling berbahaya bagi internal Partai Golkar : intervensi terhadap SOKSI, organisasi pendiri Partai Golkar.
Ia menyebut ini bukan sekadar sengketa organisasi — tetapi sinyal keras bahwa demokrasi internal sedang terancam oleh kepemimpinan otoriter yang machiavelis — menghalalkan segala cara..

Berdasarkan AD/ART Partai Golkar, dari Pasal 37 AD diatur tegas bahwa hubungan Partai Golkar dengan organisasi pendiri adalah hubungan sejarah dan kerjasama, bukan hubungan bovenbow – onderbouw. Tidak ada hubungan struktural seperti Partai Golkar dengan AMPG dan KPPG sebagai sayap organisasinya. Karena itu Partai Golkar tidak boleh sekali kali mencampuri terlebih mengintervensi organisasi pendiri seperti terhadap SOKSI saat ini. Namun fakta di lapangan berkata lain.

Kehadiran saudara Bahlil Ketum Partai Golkar meresmikan pembukaan “Munas DEPINAS SOKSI “ yang dimanipulasi menjadi “Munas XII SOKSI” yang illegal, pada 20 Mei 2025 di Jakarta dan pengakuan Menteri Hukum Supratman di media pada 16 Oktober 2025, bahwa “Kemenkum mengikuti keputusan DPP Golkar dalam menentukan legalitas SOKSI”, adalah dua bukti terang intervensi Saudara Bahlil Ketum Partai Golkar terhadap SOKSI dan Kemenkum. Ini bukan hanya salah dan bukan hanya ancaman terhadap kemandirian eksistensi ormas pendiri Trikarya, tetapi lebih dari itu. Ini sudah melanggar etika sejarah, hukum ormas, hukum negara dan prinsip demokrasi serta melanggar konstitusi Partai.”

Azis menegaskan: jika organisasi pendiri Partai Golkar bisa dibajak secara legal-institusional, maka seluruh fondasi moral partai sesungguhnya sedang runtuh.

Menjelang akhir wawancara, Azis menegaskan bahwa dari refleksi 61 tahun Partai Golkar ini, simpulnya menurutnya adalah “Evaluasi Ketum Partai Golkar Bukan Opsi — Tetapi Kewajiban Moral para kader yang komit pada khittah partai sebab Partai Golkar harus segera diselamatkan dari degradasi ideologis dan integritas dengan kepemimpinan baru yang diyakini mampu membawa Partai Golkar kembali ke khittahnya atau jatidirinya demi kepentingan Bangsa Negara dan Partai Golkar sendiri.”
Dan itu hanya bisa dimulai dengan adanya kepemimpinan Ketua Umum Partai Golkar oleh figur tokoh kader yang selain komit pada jatidiri Golkar juga relatif bersih, dan berani berpihak pada kepentingan rakyat antara lain transparansi publik dan perang melawan korupsi, yang membuatnya benar-benar hadir di hati rakyat , dipercaya rakyat dalam mendukung kepemimpinan nasional Presiden Prabowo Subianto kearah tujuan Indonesia Emas 2045.

Tanggal 20 Oktober 2025 menandai 61 tahun lahirnya Partai Golkar, sebuah momentum yang bukan dirayakan secara seremonial saja, melainkan juga perlu dijadikan refleksi kritis tentang apa bagaimana motivasi sejarah kelahirannya dan tujuannya dilahirkan.

Dalam rangka refleksi kritis itu, kami mewawancarai tokoh muda kader Partai Golkar Azis Narang, pada Minggu sore (19/10/2025) di Jakarta. Azis adalah salah satu Wakil Sekjen SOKSI dibidang Pendidikan Politik Kader Bangsa— organisasi yang lahir dari rahim TNI AD pada 20 Mei 1960 didirikan oleh Mayjen TNI (Purn) Prof.Dr.Suhardiman,tokoh pendiri Sekber Golkar pada 20 Oktober 1964 dan mantan wasekjend DPP KNPI.

Dalam refleksi kritis ini, Azis Narang mengawali dengan pertanyaan besar : “Apakah Partai Golkar hari ini memerankan dirinya masih sebagai kekuatan ideologis politik karya kekaryaan untuk membangun negara sebagaimana doktrin perjuangannya , jatidirinya atau khittahnya ?

Azis juga mengingatkan fakta sejarah, mengapa Golkar lahir bukan sebagai partai politik ? Setiap kader tentu memahami Golkar lahir sebagai bentuk kritik keras dan koreksi terhadap partai -partai politik yang ketika itu berorientasi kekuasaan semata. Jadi politik Golkar bukan politik kekuasaan tetapi adalah politik negara yang berorientasi karya kekaryaan sebagai implementasi Pancasila untuk membangun negara.

Doktrinnya “karya siaga gatra praja” dan Golkar adalah “Benteng Pancasila”. Sebagai kekuatan sosial politik yang eksis dengan platform politik mengawal tegak utuhnya NKRI berdasar Pancasila dan UUD 1945 terutama dari ancaman PKI ketika itu, paparnya.

Kini di usia 61 tahun Golkar, sejarah tahun 60-an itu terulang kembali, sejak sistem demokrasi yang makin liberalistis dalam 10 tahun terakhir ini, umumnya partai-partai politik termasuk Partai Golkar telah tergelincir dan larut menjadi bagian dari politik kekuasaan pragmatisme transaksional.

Eksesnya rakyat merasakan kedaulatannya yang semestinya menurut UUD 1945 berada di tangan rakyat , tetapi nyatanya saat ini sudah bergeser ke tangan para pimpinan Partai politik dan oligarki. Hukum makin dikooptasi oleh kekuasaan , dan Korupsi berikut mafia makin merajalela di berbagai sektor kehidupan rakyat. Harapan rakyat untuk kemajuan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia praktis terhambat hingga terjadilah paradoks Indonesia yang makin dalam sebagaimana telah ditulis dengan jelas di dalam buku “Paradoks Indonesia” oleh Bapak Prabowo pada tahun 2017 lalu. Indonesia kaya raya sumber daya alam tetapi mayoritas rakyat belum makmur alias masih miskin, ujarnya.

Menghadapi realitas sosial politik itu, menurutnya Partai Golkar dan seluruh rakyat patut bersyukur atas komitmen dan visi besar Presiden Prabowo Subianto untuk menjawab Paradoks Indonesia itu dengan Astacita.

Sejalan dengan itu, menurut Azis Partai Golkar seharusnya mampu membaca momentum dengan menangkap visi besar itu untuk segera kembali bertransformasi kepada khittahnya – politik negara dengan ideologi politik karya kekaryaan serta merta meninggalkan politik kekuasaan pragmatisme yang pernah dikoreksinya dalam motivasi sejarah kelahirannya. Konsekuensinya pimpinan Partai Golkar, teorinya harus mampu membuktikannya dan paling minimal harus mampu sebagai pelopor memperjuangkan suara rakyat sehingga ia sungguh hadir di hati rakyat sekaligus mampu mempelopori segera reformasi politik, hukum dan ekonomi dalam paradigma politik negara untuk mewujudkan visi besar Presiden.

Persoalan besarnya, apakah kepemimpinan Ketua Umum Partai Golkar hari ini dapat dinilai perform dan hadir di hati rakyat ?
Menjawab pertanyaan besar itu, Azis mengatakan, jika kita bicara jujur dalam menilainya, dengan segala maaf : “sosok kepemimpinan saudara Bahlil Lahadalia terlebih pada saat ini sedang menghadapi krisis serius di mata publik — dan itu bukan kesan elitis, melainkan terekam secara kasat mata di ruang publik bawah dan melalui media publik.

“Fakta bahwa mayoritas publik membully saudara Bahlil secara terbuka — dari isu LPG 3 kg, dugaan plagiat tesis Doktor di UI, eksploitasi tambang nikel di Raja Ampat Papua dan penambangan pulau -pulau kecil, hingga sorotan atas jaringan SPBU Swasta— menandakan satu hal : rakyat tidak merasa sedang dipimpin oleh figur yang mereka percaya.”

Bahkan, kata Azis, nama beliau kini muncul dalam daftar teratas tokoh yang dinilai dan didesak publik untuk segera direshuffle oleh Presiden Prabowo, karena publik menilainya tidak perform. Bila itu bukan sinyal bahaya kepemimpinan, lalu apa lagi ?

Azis menambahkan bahwa problemnya tidak semata pada reputasi personal, melainkan gagalnya Bahlil menterjemahkan ideologi politik Partai Golkar ke dalam tindakan nyata membela rakyat.

Golkar sebagai penganut ideologi politik karya kekaryaan — mestinya proaktif memecahkan problem rakyat, bukan hanya menonton atau mengomentari apalagi jika mempersoalkan problem. Namun Fraksi Partai Golkar di DPR justru tidak terlihat menjadi ujung tombak suara rakyat seperti taglinenya dalam berbagai isu besar nasional.

“Isu proyek PSN yang merampas ruang hidup masyarakat lokal, pagar laut, skandal mafia migas, pertambangan illegal dan transfer pricing, ,urgensi RUU Perampasan Aset , kasus dugaan pencucian uang seperti Rafael Alun cs, kasus dugaan CSR BI – OJK & DPR, isu fasilitas mewah berlebihan DPR— Partai Golkar tidak tampil memimpin narasi publik. Padahal jika Golkar komit dan konsisten dengan khittahnya seharusnya menjadi penjaga hajat hidup rakyat terbesar,” tegas Azis.

Bahkan yang lebih mengkhawatirkan, dalam debat isu subsidi LPG 3 Kg antara Menkeu Purbaya dengan Menteri ESDM yang notabene Ketum Golkar, publik menangkap kesan saudara Bahlil justru tidak pro transparansi publik, dan bahkan terkesan mengerahkan kadernya Misbakhun Ketua Komisi XI untuk menyerang Menkeu Purbaya dengan naif dan sesat, seolah-olah Menteri Keuangan hanya sekadar juru bayar subsidi tanpa berwenang mengawasi keuangan negara.
“Itu bukan saja tidak cerdas secara politik. Itu justru anti kesadaran publik modern yang menuntut transparansi dan akuntabilitas publik. Di zaman transparansi, sikap menutup data justru dibaca publik sebagai ketakutan atau konflik kepentingan.” Ini menggerus simpati dan kepercayaan rakyat terhadap Partai Golkar.

Lebih lanjut Azis kemudian masuk pada isu yang menurutnya merupakan garis batas paling berbahaya bagi internal Partai Golkar : intervensi terhadap SOKSI, organisasi pendiri Partai Golkar.
Ia menyebut ini bukan sekadar sengketa organisasi — tetapi sinyal keras bahwa demokrasi internal sedang terancam oleh kepemimpinan otoriter yang machiavelis — menghalalkan segala cara..

Berdasarkan AD/ART Partai Golkar, dari Pasal 37 AD diatur tegas bahwa hubungan Partai Golkar dengan organisasi pendiri adalah hubungan sejarah dan kerjasama, bukan hubungan bovenbow – onderbouw. Tidak ada hubungan struktural seperti Partai Golkar dengan AMPG dan KPPG sebagai sayap organisasinya. Karena itu Partai Golkar tidak boleh sekali kali mencampuri terlebih mengintervensi organisasi pendiri seperti terhadap SOKSI saat ini. Namun fakta di lapangan berkata lain.

Kehadiran saudara Bahlil Ketum Partai Golkar meresmikan pembukaan “Munas DEPINAS SOKSI “ yang dimanipulasi menjadi “Munas XII SOKSI” yang illegal, pada 20 Mei 2025 di Jakarta dan pengakuan Menteri Hukum Supratman di media pada 16 Oktober 2025, bahwa “Kemenkum mengikuti keputusan DPP Golkar dalam menentukan legalitas SOKSI”, adalah dua bukti terang intervensi Saudara Bahlil Ketum Partai Golkar terhadap SOKSI dan Kemenkum. Ini bukan hanya salah dan bukan hanya ancaman terhadap kemandirian eksistensi ormas pendiri Trikarya, tetapi lebih dari itu. Ini sudah melanggar etika sejarah, hukum ormas, hukum negara dan prinsip demokrasi serta melanggar konstitusi Partai.”

Azis menegaskan: jika organisasi pendiri Partai Golkar bisa dibajak secara legal-institusional, maka seluruh fondasi moral partai sesungguhnya sedang runtuh.

Menjelang akhir wawancara, Azis menegaskan bahwa dari refleksi 61 tahun Partai Golkar ini, simpulnya menurutnya adalah “Evaluasi Ketum Partai Golkar Bukan Opsi — Tetapi Kewajiban Moral para kader yang komit pada khittah partai sebab Partai Golkar harus segera diselamatkan dari degradasi ideologis dan integritas dengan kepemimpinan baru yang diyakini mampu membawa Partai Golkar kembali ke khittahnya atau jatidirinya demi kepentingan Bangsa Negara dan Partai Golkar sendiri.”
Dan itu hanya bisa dimulai dengan adanya kepemimpinan Ketua Umum Partai Golkar oleh figur tokoh kader yang selain komit pada jatidiri Golkar juga relatif bersih, dan berani berpihak pada kepentingan rakyat antara lain transparansi publik dan perang melawan korupsi, yang membuatnya benar-benar hadir di hati rakyat , dipercaya rakyat dalam mendukung kepemimpinan nasional Presiden Prabowo Subianto kearah tujuan Indonesia Emas 2045.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button