
Oleh : Assc Prof. Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
Jakarta, 4 September 2025
Pasca berdirinya negara Zionis Israel 1948, impian tentang “Israel Raya” (Eretz Yisrael HaShlema) beralih ke orientasi politik. Israel Raya itu membentang dari sungai Nil hingga sungai Eufrat. Dengan batas Yerusalem yang membentang hingga ke ibu kota Suriah, Damaskus. Istilah Israel Raya telah digunakan sejak semenjak Perang Arab-Israel tahun 1967. Dimaksudkan untuk menggambarkan Israel dan wilayah yang didudukinya yakni Yerusalem Timur, Tepi Barat, Gaza, Semenanjung Sinai Mesir, dan Dataran Tinggi Golan Suriah. Pada saat ini, terjadinya genosida di Gaza terhubung dengan upaya mewujudkan rencana Zionis mewujudkan Israel Raya. Bagi Zionis, ekspansi itu merupakan nubuat akhir zaman. Demikian itu bermakna penggenapan akhir zaman dan kedatangan Mesias Zionis, yakni Dajjal.
Istilah “Israel Raya” pertama kali muncul setelah Perang Enam Hari pada Juni 1967. Saat itu, Israel menduduki Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Jalur Gaza di Palestina. Israel juga menduduki Semenanjung Sinai Mesir dan Dataran Tinggi Golan Suriah. Kini, Perdana Menteri Zioniz Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan ambisinya untuk mewujudkan Israel Raya dan itu dilakukan dengan mencaplok sejumlah negara Arab yang mayoritas berpenduduk muslim. Seperti diberitakan Middle East Eye dan Times of Israel, pernyataan itu disampaikan dalam wawancara dengan i24 News pada Selasa (12/8/2025). Saat menjawab pertanyaan pembawa acara Sharon Gal mengenai visi “Israel Raya”, Netanyahu menegaskan bahwa dirinya sangat terhubung dengan konsep tersebut. Rencana mewujudkan Israel Raya meliputi wilayah Palestina yang saat ini diduduki, sebagian wilayah Mesir, Yordania, Suriah, dan Lebanon. Dalam versi lain, wilayah Arab Saudi juga termasuk di dalamnya.
Dikutip Middle East Eye, Netanyahu menggambarkan dirinya sedang menjalankan “misi bersejarah dan spiritual” dan mengaku merasa sangat terhubung dengan gagasan Israel Raya itu. Ketika ditanya apakah misinya mewakili bangsa Yahudi atau memiliki tujuan lintas generasi yang lebih luas, Netanyahu mengatakan “saya berada dalam misi lintas generasi. Jadi, jika Anda bertanya apakah saya merasa ini adalah misi bersejarah dan spiritual, jawabannya adalah ya.” Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa petinggi Zionis itu memang meneruskan agenda pendahulunya, sebagaimana telah ditetapkan dalam Protokol Zionis pada tanggal 1 Mei 1776.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich pada tahun 2024 menyatakan bahwa masa depan Yerusalem adalah meluas hingga ke Damaskus. Pada bulan September, The Jerusalem Post menerbitkan sebuah artikel yang menyatakan bahwa Lebanon dapat menjadi bagian dari “tanah yang dijanjikan”, meskipun artikel tersebut kemudian dihapus. Setelah jatuhnya rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad, Israel sepenuhnya menduduki Dataran Tinggi Golan. Netanyahu telah menyatakan bahwa wilayah tersebut tetap menjadi bagian integral Israel selamanya.
Kementerian Luar Negeri Israel juga memublikasikan di salah satu platform elektroniknya sebuah peta yang diklaim memuat sejarah Israel ribuan tahun lalu. Peta tersebut sejalan dengan narasi berulang pihak Israel mengenai adanya “Kerajaan Yahudi” yang mencakup sebagian wilayah pendudukan Palestina, Yordania, Lebanon, Suriah, dan Mesir. Pandangan serupa juga diungkapkan sejumlah menteri di pemerintahan Netanyahu. Tahun lalu, Menteri Keuangan Bezalel Smotrich terekam mendukung perluasan batas negara Israel hingga mencakup Damaskus, Suriah. Ia menyebut Israel pada akhirnya akan berkembang mencakup seluruh wilayah Palestina serta sebagian wilayah Yordania, Lebanon, Mesir, Suriah, Irak, dan Arab Saudi. Smotrich sebelumnya juga menyampaikan gagasan serupa pada tahun 2023, dalam acara peringatan seorang aktivis Likud di Paris.
Peta Israel Raya pernah diterbitkan di Instagram dan X oleh akun Kementerian Luar Negeri Israel pada 6 Januari 2025. ”Tahukah Anda bahwa Kerajaan Israel didirikan 3000 tahun yang lalu?” tulis akun tersebut sebagai caption dari unggahan peta. Konten tersebut mengeklaim kerajaan Yahudi kuno yang dipimpin Raja Saul, Raja David (Raja Daud), dan Raja Solomon (Raja Sulaiman), hingga pembagian kerajaan dan pengasingannya di bawah kekuasaan Asyur dan Babilonia, yang diakhiri dengan pendirian negara Zionis Israel tahun 1948, dengan mengeklaim sebagai satu-satunya negara demokrasi di Timur Tengah. Demikian itu, sungguh kebohongan yang nyata.
Tindakan penghancuran Gaza dan pencaplokan Tepi Barat, bukan hanya untuk mencegah pembentukan negara Palestina, namun juga bagian dari agenda mendirikan Israel Raya. Dalam kaitan ini sungguh tidak mungkin tercapai solusi dua negara (two-state solution). Terlebih lagi, pembentukan negara Palestina bukanlah prioritas bagi pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Bahkan, Trump telah menyatakan bahwa dia tidak menghalangi rencana Israel untuk mengambil alih Gaza. Dirinya ketika ditanya tentang laporan bahwa Netanyahu telah memutuskan untuk menduduki seluruh wilayah Palestina, Trump mengatakan dia hanya fokus untuk memberi “makanan bagi masyarakat” di Gaza. “Sedangkan sisanya, saya benar-benar tidak bisa mengatakannya. Itu (pencaplokan Gaza) sepenuhnya bergantung pada Israel,” hal ini dikatakan Trump kepada wartawan (5/8/2025). Sebagai catatan, Washington diberitakan memberikan bantuan militer kepada Israel miliaran dolar setiap tahunnya. Bantuan itu meningkat secara signifikan setelah dimulainya perang Israel di Gaza pada Oktober 2023.
Terhadap ambisi Zionis mendirikan Israel Raya, negara-negara Arab mengeluarkan kecaman terhadap pernyataan petinggi Zionis Isael itu. Visi Israel Raya, jelas adalah serangan terhadap kedaulatan negara-negara Arab. Kantor berita resmi Saudi Press Agency (SPA) melansir bahwa Kerajaan Arab Saudi mengutuk keras pernyataan yang dikeluarkan Netanyahu mengenai Israel Raya. Qatar juga menyatakan kecaman atas pernyataan mengenai Israel Raya. Dikatakan bahwa itu merupakan perpanjangan dari pendekatan penjajah yang didasarkan pada arogansi, memicu krisis dan konflik, dan pelanggaran terang-terangan terhadap kedaulatan negara, hukum internasional, Piagam PBB, dan resolusi legitimasi internasional.
Kementerian Luar Negeri Yordania menggambarkan pernyataan Netanyahu sebagai eskalasi provokatif yang berbahaya, ancaman terhadap kedaulatan negara, dan pelanggaran hukum internasional dan Piagam PBB. Juru bicara kementerian Sufyan al-Qudah menegaskan, dalam pernyataan yang dimuat oleh kantor berita resmi Petra, bahwa Kerajaan dengan tegas menolak “pernyataan provokatif” tersebut. Ia menekankan bahwa “ilusi absurd yang tercermin dalam pernyataan pejabat Israel tidak akan melemahkan Yordania dan negara-negara Arab, juga tidak akan mengurangi hak-hak sah dan tidak dapat dicabut dari rakyat Palestina.” Hal senada disampaikan Kementerian Luar Negeri Qatar, yang menegaskan bahwa klaim palsu Israel dan pernyataan-pernyataan mereka yang tak masuk akal dan menghasut tidak akan mengurangi hak-hak sah negara-negara dan masyarakat Arab. Pernyataan tersebut menekankan perlunya solidaritas komunitas internasional untuk menghadapi provokasi ini, yang menjadikan kawasan semakin rentan terhadap kekerasan dan kekacauan.
Selanjutnya, Kementerian Luar Negeri Mesir mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa pihaknya mengecam apa yang diangkat di beberapa media Israel mengenai Israel Raya. Mereka menyerukan klarifikasi mengingat berbahayanya pernyataan Netanyahu. “Pernyataan ini bertentangan dengan aspirasi pihak-pihak cinta damai di kawasan dan internasional yang berupaya mencapai keamanan dan stabilitas bagi seluruh masyarakat.” Dia menekankan bahwa tidak ada cara untuk mencapai perdamaian kecuali melalui kembalinya perundingan dan diakhirinya perang di Gaza, yang mengarah pada pembentukan negara Palestina dengan batas 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Sekretariat Jenderal Liga Arab mengecam keras pernyataan Netanyahu mengenai pencaplokan sebagian wilayah negara-negara Arab yang berdaulat. Sekretariat Jenderal mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa pernyataan-pernyataan tersebut merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan negara-negara Arab.
Sementara itu, Hamas dalam pernyataannya menyebut komentar Netanyahu sebagai bukti bahaya dari skema ekspansionis yang mengancam seluruh negara dan bangsa di kawasan. Dikutip Al Jazeera, Hamas juga menuduh Netanyahu menjalankan agenda “kriminal dan ekstremis” sambil melancarkan perang pemusnahan dan kelaparan terhadap warga Palestina di Gaza. Hamas menyerukan negara-negara Arab mengambil langkah “tegas dan jelas”, termasuk mendukung perlawanan Palestina, memutus hubungan dengan Israel, menghentikan normalisasi, dan bersatu menghadapi pendudukan. Kelompok itu juga mendesak komunitas internasional mengutuk pernyataan Netanyahu tersebut dan segera bertindak nyata menghentikan agresi brutal Israel terhadap warga sipil di Gaza, serta menggagalkan setiap ambisi ekspansionis yang dinilainya mengancam keamanan kawasan dan dunia. Mantan diplomat Mesir, Hussein Haridi, menyebut bahwa pernyataan Netanyahu tersebut sebagai peringatan akan datangnya “Nakba ketiga”, tragedi pengusiran massal yang bukan hanya menimpa Palestina, melainkan juga mengancam rakyat Yordania, Mesir, dan Lebanon. Menurutnya, Netanyahu tak sekadar mencoba memuaskan kelompok ekstrem kanan di Israel, melainkan juga sedang menyingkap wajah asli proyek Zionis global yang berusaha merampas tanah Arab dengan kedok ideologis. “Jika dunia Arab gagal menghadapi ambisi ini, maka mereka sedang membuka jalan bagi bencana baru,” ujarnya.
Perlu direnungkan, aneksasi yang dilakukan Zionis itu akan dibarengi dengan penghancuran Masjid Al Aqsha. Mewujudkan Israel Raya, tidak menjadi bermakna selama Masjid Al Aqsha tidak dirobohkan. Israel Raya dan penghancuran Masjid Al Aqsha guna pembangunan Kuil Solomon sesuai dengan konsep ideologis Zionis. Solomon Temple itu diyakini sebagai syarat kedatangan mesias alias juru selamat mereka, tiada lain adalah Dajjal si “Mata Satu”. Pada bagian sebelumnya, telah diuraikan tentang simbol rahasia dalam uang satu dolar Amerika. Terlihat gambar bangunan piriamida yang belum selesai dan terpotong dengan gambar segitiga dan “Mata Satu”. Simbol itu menunjuk pada misi pembangun Kuil Solomon. Pembangunan Kuil Zionis itu dilakukan dengan merobohkan Masjid Al Aqsha terlebih dahulu.
Ambisi Zionis Israel menguasai Gaza dan membangun Kuil Solomon terhubung dengan simbol-simbol rahasia dalam uang satu dolar tersebut. Terlihat 13 daun zaitun di kaki kanan burung, 13 butir zaitun yang tersembul di sela-sela daun zaitun, dan di sebelahnya 13 anak panah. Zaitun merupakan simbol yang mewakili identitas Palestina. Gambar kaki burung elang yang mencengkram zaitun menunjukkan bahwa bumi Palestina harus dihilangkan dan diganti dengan negara Zionis. Dalam uang satu dolar juga memperlihatkan di sekeliling piramida tergambar seperti lautan. Lautan itu menunjuk pada jalur Gaza. Dari penguasaan Gaza ini akan merambah ke negara-negara lainnya, sebagaimana dimaksudkan dalam konsep Israel Raya. Mata burung elang yang menghadap piramida dan 13 bintang di atas kepala elang – yang membentuk Bintang David – searah dengan simbol “Mata Satu” menegaskan ambisi Zionis guna penguasaan Gaza. Setelahnya, ambisi aneksasi dilakukan guna pendirian Israel Raya.
Piramida yang tidak memiliki puncak, menyimpan makna masih terdapat pekerjaan yang belum dirampungkan. Dengan kata lain ada hal-hal lain yang menghalangi belum penuhnya bangunan piramida sebagaimana yang dikonsepsikan. Pekerjaan yang belum diselesaikan itu terhubung dengan slogan ‘Novus Ordo Seclarum’ sebagai pilarnya. Jadi, penyelesaian segitiga puncak yang terpotong itu mengandung makna bahwa ‘Tatanan Dunia Baru’ itu membutuhkan satu tahapan yang mesti dipenuhi. Tahapan terakhir tersebut adalah menunggu munculnya Dajjal yang dilambangkan dengan “Mata Satu” di atas piramida yang terpotong itu. Kemunculannya sebagai penggenap bangunan piramida. Hal ini sejalan dengan upaya pendirian Israel Raya sebagai pengenap bagi kemunculan juru selamat Zionis si “Mata Satu” Dajjal.
Skenario Zionis untuk merobohkan Masjid Al Aqsha dan agresi militer guna mewujudkan Israel Raya hanyalah menunggu waktu. Salah atau keduanya terjadi, dapat dipastikan akan menyulut perang di kawasan Timur Tengah. Apalagi, jika Masjid Al Aqsha benar-benar dirobohkan, maka perang agama menjadi lebih dominan. Kondisi demikian itu akan berbarengan dengan aneksasi Zionis ke wilayah lainnya guna mewujudkan Israel Raya. Pada akhirnya konflik kawasan itu akan menjurus pada Perang Dunia III.
Tulisan ini diambil dari buku penulis, ”Melawan Hegemoni Zionis Demi Baitul Maqdis.”