Opini

“BISIKAN DUA MILYAR”

Oleh: Syafril Sjofyan ( Pemerhati Kebijakan Publik, Aktivis Pergerakan 77-78 )

Bandung, 18 Oktober 2025

Jum’at tanggal 17 Oktober 2025 di kampus Universitas Paramadina Kuningan Jakarta tepatnya di Trinity Tower lt.45. Diadakan peluncuran buku “Mengenang Rizal Ramli, catatan para Sahabat”. Buku setebal 210 halaman merupakan kumpulan tulisan 45 orang para sahabat. Editor buku 3 orang jurnalis senior Arie Gunawan, Herdi Sahrasad dan penulis Swary Utami Dewi.

peluncuran buku “Mengenang Rizal Ramli, catatan para Sahabat”, Jum’at tanggal 17 Oktober 2025 di kampus Universitas Paramadina Kuningan Jakarta

Kehadiran para sahabat Rizal Ramli memenuhi ruangan acara, membuat kebanggaan sendiri, disamping juga terharu. Kilas balik berupa testimoni yang dipandu oleh putranya Rizal Ramli, Dipo Satria Ramli yang juga mengikuti jejak bapaknya sebagai ekonom. Dipo menyitir beberapa quote dari RR yang sangat mengena sebagai pembangkit perjuangan tegaknya keadilan. Berikut saya nukilkan tulisan saya dari buku halaman 133- 137, pengalaman yang belum pernah diberitakan.

peluncuran buku “Mengenang Rizal Ramli, catatan para Sahabat”, Jum’at tanggal 17 Oktober 2025 di kampus Universitas Paramadina Kuningan Jakarta

PAGI itu, di penghujung 2011, cuaca di Banda Aceh cerah. Saya sedang bersiap-siap berangkat ke kantor. Mendadak handphone (HP) berdering. Istri saya, Shinta, menyodorkan HP itu. Tidak tercantum nama penelepon di layar. Ketika saya angkat terdengar suara berat itu. Dugaan saya tak meleset. Suara itu tak lain suara Rizal Ramli. Tanpa basa-basi dia berucap, “Fril, kamu masih di Aceh? Kembali dong. Bantuin. Saya mau jadi Presiden RI.” “Waduh, saya masih terikat kontrak kerja. Sekitar 2012 baru selesai,” jawab saya. “Oke,” kata Rizal singkat.

Saya katakan kepada istri, bahwa telepon itu dari Rizal Ramli, sahabat aktivis Angkatan 1977-1978. Saya kemukakan keheranan saya kepada istri. “Kok, dia tahu ya, nomor HP saya? Padahal sudah lama tidak berkomunikasi.” Sejak tahun 2005 saya memang sudah bergiat di Humanitarian Mission di Aceh, sesudah Aceh dilanda tsunami 26 Desember 2004.

Akhir 2012 saya kembali dari Banda Aceh ke Bandung. Lalu, berdua dengan istri, saya mengendarai mobil dari Bandung ke Jakarta. Tujuan utama adalah bertemu Rizal Ramli untuk memenuhi janji saya. Ketika itu, dia masih tinggal di Jalan Madrasah, Cipete, Jakarta Selatan. Saya sekalian ingin berkenalan dengan Afung, istri Rizal.

Ketika bertemu saya menyatakan siap membantu. Rizal kemudian bercerita mengapa dia ingin menjadi Presiden. Sebelumnya dia pernah mencoba pada tahun 2009, namun gagal. Beberapa partai politik kecil yang sudah berjanji akan mendukung ternyata mengalihkan dukungan ke yang lain.

“Fril, saya punya gagasan dan cara. Saya sangat yakin bisa meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Utang negara akan bisa diatasi. Freeport segera habis masa kontraknya. Freeport bisa diambil alih 100% untuk dikelola negara. Rupiah akan bisa menyentuh angka 5.000. Sekolah sampai S-3 akan gratis,” jelas Rizal optimistik.

Saya lalu mendapat tugas dari Rizal untuk memperkuat Partai Kedaulatan. Meski tidak tercantum dalam kepengurusan dan bukan pendiri partai, tapi Partai Kedaulatan sudah berkomitmen mendukung Rizal. Saya kemudian menjadi Ketua Partai Kedaulatan di Jawa Barat. Jawa Barat menjadi pilihan karena merupakan tempat domisili saya, sesudah tujuh tahun bekerja di Aceh. Partai Kedaulatan kebetulan belum memiliki cabang di Aceh, demikian juga di Sumatera Barat, daerah asal saya. Sesudah menjadi Ketua Partai di Jawa Barat, saya juga membantu langsung pembangunan infrastruktur partai di Aceh.

Ketika dilakukan verifikasi partai untuk mengikuti Pemilu Umum (Pemilu) 2014, ada masalah di Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Masalah ini berlanjut hingga ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT-TUN). Rizal meminta saya untuk membantu Ketua Umum (Ketum) selama proses persidangan di Jakarta. Menjelang keputusan pengadilan, Ketum meminta saya menyampaikan sesuatu kepada Rizal Ramli, karena dia menganggap saya memiliki hubungan dekat.

Pagi itu saya ke rumah Rizal. Dia sedang sarapan. Saya ikut sarapan dan kemudian memulai pembicaraan. “Zal, kita bisa lolos. Sudah ada bisikan. Tapi perlu sejumlah dana.” Tiba-tiba Rizal menggebrak meja. Sontak saya kaget. “Fril, sekali kita lakukan itu, selanjutnya kita akan rusak. Dua miliar gampang saya cari. Tapi itu berarti, saya mengikat kaki dan leher saya,” tandas Rizal geram. Namun saya masih berkilah. “Tapi, itu kan kapal buat kita berlayar.” “Tunggu saja keputusan hakim. Kalau lolos, ya syukur!” kata Rizal tegas.

Selanjutnya, dari lima partai yang bersengketa di PT-TUN, hanya dua yang bisa lolos ikut Pemilu 2014, yaitu Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).

Kegagalan meloloskan partai untuk ikut pemilu tersebut tidak mengendorkan semangat Rizal. Selanjutnya, saya bersama beberapa sahabat mendukung Rizal Ramli dalam Konvensi Rakyat untuk memilih Calon Presiden. Konvensi Rakyat ini dipimpin almarhum K.H. Salahuddin Wahid akrab dipanggil Gus Sholah. Konvensi, yang dihadiri masyarakat umum, ini dilakukan di Bandung, Jakarta, Medan, Makassar, Balikpapan, dan Surabaya. Hasil konvensi tersebut memilih Rizal Ramli sebagai Bakal Calon Presiden terbaik dan kedua adalah Yusril Ihza Mahendra.

Ketika Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) akan menentukan siapa pendamping Joko Widodo (Jokowi) tahun 2014, ada lima Bakal Calon Wakil Presiden yang digadang-gadang, yakni Jusuf Kalla, Rizal Ramli, Mahfud M.D., Abraham Samad, dan Ryamizard Ryacudu. Konon, yang dipanggil Megawati untuk diwawancara hanya dua, yakni Jusuf Kalla dan Rizal Ramli. Akhirnya yang terpilih adalah Jusuf Kalla.

Saya sempat menanyakan kepada Rizal apa yang dibicarakan dengan Megawati saat itu. Megawati menyampaikan bahwa PDIP, apalagi Jokowi, tidak punya uang. Dibutuhkan biaya tinggi untuk kampanye.

Awal tahun 2018, saya diminta lagi oleh Rizal Ramli untuk membantu membangun kembali Partai Kedaulatan. Ketumnya kali ini adalah Said Iqbal. Saya menjadi Sekretaris Jenderal (Sekjen). Sekitar enam bulan saya bertugas di Jakarta untuk mempersiapkan partai ikut seleksi pemilu. Dari pengalaman 2014, saya memperkirakan bahwa proses kali ini juga tidak akan berlangsung mulus. Sebaiknya, partai tidak usah melanjutkan proses. Rizal setuju dengan usulan saya ini. Saya lalu kembali ke Bandung. Konon, kemudian Said Iqbal berhasil membangkitkan kembali Partai Buruh.

Kenangan lain yang sangat berkesan adalah ketika Rizal Ramli menjadi Menteri Koordinator (Menko) Bidang Maritim dan Sumber Daya. Walaupun bukan staf Menko, saya diajak beberapa kali kunjungan kerja, termasuk ke Medan dan Ambon. Sambutan masyarakat di Ambon sangat luar biasa. Waktu itu, isu Masela menjadi perhatian masyarakat Maluku. Saya hanya berkomentar pendek di kamar hotel kepada Rizal, ”Semoga sambutan rakyat Maluku, yang membeludak, tidak membuat iri pusat kekuasaan di Jakarta.” Rizal hanya tersenyum mendengarnya.

Mungkin karena saya kerap ikut kunjungan kerja, kedekatan saya dipantau pihak tertentu. Saya dihubungi seseorang yang mengaku Aktivis 1966 dan dekat dengan Cosmas Batubara (Cosmas ketika itu menjadi Direktur Utama di suatu tempat, menggantikan Dirut lama yang dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi). Orang ini mengajak saya bertemu empat mata di Bandung. Intinya, dia meminta saya mewakili Aktivis 1977-1978 untuk bersama-sama menyelenggarakan seminar, dengan keynote speaker Menko Bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli. Narasumber lain adalah Cosmas Batubara. Semua biaya akan ditanggung, disertai iming-iming beberapa bentuk bantuan untuk Aktivis 1977-1978, yakni gedung dan sebagainya persis seperti apa yang dimiliki Eksponen 1966. Ketika hal tersebut saya sampaikan melalui telepon kepada Rizal, jawabannya singkat, ‘’No way’!’ Telepon langsung ditutup.

Satu lagi hal yang berkesan adalah ketika Reklamasi Teluk Jakarta dihentikan oleh Rizal Ramli, dalam kapasitasnya selaku Menko Bidang Maritim dan Sumber Daya. Dalam hati saya berkata, “Gila integritas sahabat saya ini.’’ Rizal Ramli memang sudah sangat teruji. Kalau saja dia mau “berdamai” dalam urusan Reklamasi Teluk Jakarta, dana besar untuk mendukung rencananya menjadi Calon Presiden pasti tersedia. Namun, dia tak tertarik sedikit pun.

Rizal Ramli kini telah tiada. Saya percaya, Rizal Ramli damai di alam sana. Namun, saya yakin dia pasti kecewa menyaksikan ulah rezim Jokowi yang “menjual kebijakan dengan harga murah” untuk mendapatkan cuan dalam rangka membangun dinasti. Beberapa politisi dan elite muda yang menjadi kaki tangan para konglomerat hitam bahkan mendadak jadi kaya raya. Jika saja Rizal masih hidup, dia pasti bersuara lantang menentang hal ini.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button