Opini

IJAZAH PALSU JOKOWI DAN JEJAK MEGAWATI: TARGET ITU BERNAMA PRABOWO?

Oleh: Edy Mulyadi, Wartawan Senior

Isu ijazah palsu Jokowi bukan lagi sekadar wacana pinggiran. Ia menjelma jadi bola api panas yang dilempar dari luar sistem. Lalu perlahan membakar kredibilitas sistem itu sendiri. Dalam negara yang sehat, kasus semacam ini cukup sekali diuji bukti. Selesai. Tapi di republik kita yang terbiasa dengan rekayasa dan peran para juru simpan rahasia, kasus ini justru semakin semrawut.

Sayangnya kita terlampau sibuk di hilir. Publik acap abai di hulu. Soal ijazah Jokowi, misalnya. Nyaris semua energi dan sumber daya kita tumpah ruah mempersoalkan keasliannya. Kita lupa, perkara di hulu. Padahal dari sinilah semua kegaduhan, juga kezaliman penguasa bernama Jokowi bermula lebih dari 20 tahun silam.

Mega dan PDIP Pencipta Monsternya

Mari jujur. Siapa yang pertama kali mengusung Jokowi ke panggung nasional? Megawati dan PDI-P. Mereka bukan sekadar partai pendukung. Mereka adalah produsen politik Jokowi. Mereka yang mempromosikannya sebagai kader, membela mati-matian. Merekalah yang menjual citranya ke publik. Walikota Solo, Gubernur DKI, hingga akhirnya Presiden dua periode.

Artinya, pada konteks pemalsuan ijazah, maka Mega dan PDIP harus ikut bertanggung jawab. Minimal secara moral dan politik. Tapi tak berhenti di situ. Ada dasar hukum yang menegaskan bahwa partai politik wajib bertanggung jawab atas siapa yang mereka calonkan.

Lihatlah Pasal 11 huruf e UU Nomor 2 Tahun 2911 tentanh Partai Politik: “Partai Politik berfungsi sebagai… sarana rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi…

Kemudian diperkuat oleh Pasal 12 huruf d: “Partai Politik berkewajiban… menyiapkan kader-kader pemimpin bangsa.”

Ditambah lagi Pasal 7 Ayat (2) huruf g UU No. 10 Tahun 2016 (Pilkada) dan mekanisme pencalonan dalam UU Pemilu, yang menyatakan bahwa calon kepala daerah dan presiden harus diusung partai politik atau gabungan partai.

Pasal-pasal tadi bermakna, calon tidak pernah berdiri sendiri. Partai pengusung yang melahirkan, membesarkan. Dan tentu saja, mereka yang kemudian (paling) menikmati. Itu sebabnya Mega dan PDIP harus menanggung risiko dan tanggung jawab atas Jokowi, monster yang mereka lahirkan dan besarkan.

Jadi, kalau ternyata data Jokowi sejak awal bermasalah, publik berhak bertanya: kemana saja Megawati dan PDIP? Apa yang dilakukannya? Apa Mega tahu dan tutup mata? Atau dia benar-benar tidak tahu dan lalai? Dua-duanya sama buruk dan salah. Apa pun musababnya, seharusnya mereka merasa berdosa. Maksud saya kalau mereka kenal dan yakin dengan konsep pahala dan dosa.

Berakhir di Pengadilan?

Dengan fakta seperti itu, pertanyaan yang mengemuka; mungkinkah kasus ijazah palsu Jokowi bakal bermuara di pengadilan? Jawabnya tergantung. Kalau yang jadi pesakitan adalah para pengeritk, besar kemungkinan iya. Tapi jika yang jadi terdakwa Jokowi, sebaiknya Anda kubur dalam-dalam keinginan itu.

Buat kemungkinan Roy Suryo, dr. Tifa, Rismon, Rizal Fadilah, Kurnia Tri Royani dkk dijadikan pesakitan, tak perlu lah kita bahas. Kalau Jokowi menghendaki mereka dipenjara, sudah hampir pasti tangan-tangannya yang masih ada di jejaring kekuasaan akan berusaha mewujudkan.

Sebaliknya pada kemungkinan Jokowi yang diadili? Tanpa bermaksud mendahului taqdir: sepertinya kecil kemungkinan kasus ini akan diselesaikan tuntas lewat pengadilan. Sebab kalau pintu dibuka, Mega dan PDIP ikut masuk ruang sidang. Jokowi akan melantunkan nyayian sumbang. Dia sebut nama. Sebut tempat dan peristiwa. Akan terjadi tiji tibeh. Mati siji mati kabeh. Mati satu mati semua. Apa mereka mau?

Downgrade Prabowo?

Namun yang menarik, isu ini terus dimainkan. Paling tidak, begitulah yang diungkap Ketum Pernusa, Norman Hadinegoro. Kata dia, Jokowi punya tim khusus yang bertugas terus memainkan dan menggoreng isu ini. Bukan untuk mencari kebenaran. Tapi untuk men-downgrade Prabowo. Mengapa?

Karena kini Prabowo presiden terpilih. Terus memainkan kasus ini akan membuat rakyat lelah. Dan marah. Lelah karena untuk soal sesepele ini tak bisa kunjung tuntas. Lelah karena buat skandal sesederhana ini begitu banyak rombongan sirkus yang terlibat dan dilibatkan. Celakanya, sebagaian anggota rombongan ini dibiayai oleh duit rakyat. UGM, Polri dan lainnya.

Kalau kasus ini tak kunjung tuntas, rakyat jadi marah. Ada upaya kanalisasi agar kemarahan itu menuju Prabowo. Framing-nya, Prabowo adalah presiden yang lemah. Tak berani sentuh ijazah palsu. Tak mampu melawan gurita Jokowi dan PDIP. Ini jebakan. Ada penggiringan persepsi, bahwa Prabowo telah gagal. Apa pun pilihan dan alasannya.

Itulah cara kerja sistem oligarki. Mereka selalu menyimpan dosa di bawah karpet, sambil menyiapkan kambing hitam baru untuk dicincang.

Persoalannya, apa Prabowo sadar sedang disiapkan jadi kambing hitam itu? Kalau tidak, kok bisa? Bukankah dia dikenal sebagai jenderal yang cerdas? Mantan Danjen Kopassus? Pangkostrad pula. Lalu apa saja yang dilakukan para pembantunya? Bukankah mereka kaum cerdik pandai? Banyak profesor doktor? Banyak pula jenderal yang ahli strategi? Kemana saja mereka?

Kalau Prabowo sadar, lalu kenapa dia diam saja? Abai? Bahkan cenderung membela Jokowi. “Nanti jangan-jangan ijazah saya pun dipersoalkan,” katanya.

Ini adalah ucapan nyinyir. Ini juga menunjukkan keberpihakan. Kecenderungan. Hati-hati, pak Presiden!

Sebagai sesama muslim, saya ingin mengingatkan Prabowo atas firman Allah:

وَلَا تَرْكَنُوْۤا اِلَى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا فَتَمَسَّكُمُ النَّا رُ ۙ وَمَا لَـكُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ مِنْ اَوْلِيَآءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُوْنَ

“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, sedangkan kamu tidak mempunyai seorang penolong pun selain Allah, sehingga kamu tidak akan diberi pertolongan.” (QS. Hud 11: Ayat 113)

Jangankan berbuat zalim, sekadar cenderung kepada orang zalim saja akan menyebabkan disentuh api neraka. Rekam jejak 10 tahun kekuasaan Jokowi dijejali bermacam kezaliman. Kejahatan. Penindasan. Juga pengkhianatan terhadap kedaulatan NKRI.

Alangkah tragis dan ironisnya, si korban justru jadi pembela pihak-pihak yang akan menyembelihnya. Hati-hati, tuan Presiden!

Jakarta, 29 Juli 2025

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button