Opini

MENYIKAPI PERSOALAN RANGKAP JABATAN KETUA UMUM PERADI DENGAN BENAR DAN ADIL

Oleh : Assoc. Prof. Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. ( Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia (PEDPHI), Akademisi & Ahli Teori Hukum )

Jakarta, 25 Juli 2025

Pengujian materiil Pasal 28 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) terhadap Pasal 27 Ayat 1, 28D Ayat 1, 28E Ayat 3 dan Pasal 28J Ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) kini menunggu putusan Mahkamah Konstitusi. Pokok terpenting dalam uji materiil dimaksud adalah menunjuk pada posisi Ketua Umum PERADI (in casu Otto Hasibuan) yang saat ini menjabat sebagai Wamenko Kementerian Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Wamenko Kumham Imipas). Persoalan rangkap jabatan itulah yang menjadi pokok perkara sebagaimana dimaksudkan oleh Pemohon.

Sehubungan dengan perkara tersebut, perlu disikapi dengan arif dan bijak guna mendapatkan kebenaran dan keadikan. Kebenaran dan keadilan adalah dwitunggal, keduanya itu ibarat “dua sisi mata uang yang sama”. Dalam kepentingan ini penulis memfokuskan kajian terhadap dua hal, pertama tentang hakikat rangkap jabatan dan kedua menyangkut aturan pengecualian” dalam hukum.

Pertama, hakikat rangkap jabatan. Sejatinya, rangkap jabatan menunjuk dua entitas jabatan, dimana jabatan tersebut dalam suatu yurisdiksi (in casu kekuasaan negara). Pada perkara a quo, Pemohon telah menyamakan dua hal yang berbeda, yakni dengan mempersamakan Pimpinan Organisasi Advokat yang menjadi Pejabat Negara dengan Pimpinan Partai Politik. Padahal, demikian jelas dan tegas larangan yang disebutkan dalam Pasal 28 Ayat 3 UU Advokat ditujukan bagi Pimpinan Partai Politik yang merangkan sebagai Pimpinan Organisasi Advokat. Di sisi lain, PERADI tidaklah dibiayai dari APBD dan/atau APBD. Dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 61 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara) menyebutkan bahwa Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Secara argumentum a contrario, maka dibolehkan bagi pimpinan organisasi (in casu Ketua Umum PERADI) yang tidak dibiayai dari APBN dan/atau APBD.

Penyamaan demikian bertentangan dengan prinsip keadilan. Keadilan menunjuk pada perihal perimbangan (proporsi) sebagaimana disampaikan oleh Aristoteles. Di sini pembebanan sesuatu sesuai kemampuan dan memberikan sesuatu yang memang menjadi haknya sesuai dengan kadar yang proporsional. Dalam keadilan distributif, kesederajatan menjadi tolok ukur penilaian. Sebagaimana dikatakan oleh Prajudi Atmosudirjo bahwa ketidakadilan akan timbul jikalau mereka yang sederajat tidak diperlakukan secara sederajat. Dikatakan selanjutnya, jikalau orang-orang yang tidak sederajat diperlakukan secara sama atau seolah-olah sederajat akan timbul ketidakadilan. Organisasi yang dibiayai dari APBN/APBD tentu tidaklah sederajat dengan organisasi yang tidak dibiayai dari APBD dan/atau APBD. Dengan demikian mensejajarkan (derajat) kedua organisasi yang berbeda tersebut merupakan bentuk ketidakadilan.

Selanjutnya, dalam keadilan distributif, penekanan proporsional menunjuk pada suatu kondisi dimana kesamaan hak itu haruslah sama diantara orang-orang yang sama. Pada satu sisi memang benar bila dikatakan bahwa keadilan berarti juga kesamaan hak, namun pada sisi lain harus dipahami pula bahwa keadilan juga berarti ketidaksamaan hak. Sejalan dengan hal ini terdapat adagium, “keadilan terlaksana bila hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama diperlakukan secara tidak sama.” Dalam pandangan Islam, keadilan adalah “menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya”. Pembagian proporsi yang sama diberikan kepada orang-orang yang sama, sebaliknya orang yang tidak sama tentu akan mendapatkan pembagian yang berbeda, sehingga semua orang diberlakukan sama untuk hal yang sama dan diperlakukan berbeda untuk hal yang berbeda.

Uraian di atas memperjelas bahwa tolok ukur keadilan adalah unsur proporsionalnya. Dikaitkan dengan permohonan yang menegasikan jabatan Ketua Umum PERADI sebagai Wamenko Kumham Imipas, maka hal itu tidak tidak proporsional. Demikian itu bertentangan dengan postulat “menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya”. Posisi Ketua Umum PERADI adalah tidak sebangun atau tidak sama dengan posisi Wamenko Kumham Imipas. Pasal 23 UU Kementerian Negara telah menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya. Demikian pula Pasal 20 ayat (3) UU Advokat yang hanya menyebutkan Advokat, dan bukan Pimpinan Organisasi Advokat. Norma kedua pasal a quo adalah proporsional. Penyamaan dua hal yang berbeda tersebut tidak dapat dibenarkan dan itu mencederai keadilan. Dalil penyamaan dengan menyebut rangkap jabatan, tidak pula berkorespondensi dengan kebenaran dan keadilan. Secara hakikat, jabatan sebagai Ketua Umum PERADI tidak termasuk dalam bidang kuasa negara. Oleh karena itu, jabatan sebagai Wamenko Kumham Imipas tidak dapat dikatakan sebagai rangkap jabatan dengan posisi Ketua Umum PERADI.

Kedua, tentang pengecualian dalam hukum. Dalam penerapan hukum sebagai suatu proses guna mewujudkan keinginan-keinginan hukum, tentu memerlukan adanya aturan pengecualian. Pengeculian demikian penting, ketika suatu norma dalam konstitusi tidak memberikan penegasan (batasan). Dengan demikian, oleh sebab konstitusi tidak mengaturnya, maka berlaku kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Dalam hukum terdapat adagium “tidak ada hukum tanpa pengecualian” (no law without escape clause). Pada prinsipnya pengaturan pengecualian dalam produk hukum dapat dibenarkan sepanjang pengecualian tersebut mendatangkan kemanfaatan, bahkan demikian itu dianjurkan.

Berikut ini disampaikan aturan pengecualian, dan demikian itu sejalan dengan asas “kepastian hukum yang adil” sebagai aksiologi hukum yang dianut oleh konstitusi.

  1. Pengecualian dalam kaitannya dengan batas usia Hakim Konstitusi sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pada Pasal 87 huruf b yang disebutkan:
    “Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang-Undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (lima belas) tahun.”

Dengan adanya pengecualian tersebut, terhadap Hakim Konstitusi yang sedang menjabat dianggap telah memenuhi persyaratan usia sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d yakni berusia paling rendah 55 (lima puluh) tahun. Pengecualian dalam Pasal 87 huruf b diberikan kepada salah satu Hakim Konstitusi yang tidak memenuhi persyaratan usia minimal sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d dan oleh karenanya dianggap memenuhi syarat.

  1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022. Putusan a quo terkait dengan pengecualian batas usia minimal bagi Pimpinan KPK. Mahkamah menyatakan dalam amar putusannya, “bahwa Pasal 29 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang semula berbunyi, “Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”.
    Pengecualian dalam hukum merupakan pengakuan resmi atas suatu entitas atau tindakan oleh pihak berwenang. Pengecualian yang diatur dalam hukum sejalan dengan asas “kepastian hukum yang adil.” Mengacu pada ketentuan pengecualian tersebut, maka penerapannya harus mengacu kepada prinsip kesamaan perlakuan. Sejalan dengan hal ini Hans Kelsen mengatakan, bahwa keadilan adalah legalitas. Suatu peraturan disebut adil jika benar-benar diterapkan kepada semua kasus yang menurut isinya peraturan demikian harus diterapkan. Suatu peraturan menjadi tidak adil jika diterapkan kepada satu kasus dan tidak diterapkan kepada kasus lain yang sama. Keadilan dalam arti legalitas adalah suatu kualitas yang berhubungan bukan dengan isi dari suatu tata hukum positif, melainkan pada penerapannya.

Terkait dengan penerapan pengecualian dalam hal posisi Ketua Umum PERADI yang menjabat sebagai Pejabat Negara, maka kepatuhan atas pengecualian harus pula diterapkan. Hal ini penting untuk dipahami terkait dengan Petitum Pemohon yang menegasikan Ketua Umum PERADI sebagai Pejabat Negara. Seandainya, Mahkamah memutuskan bahwa Pasal 28 ayat 3 UU Advokat bertentangan dengan UUD 1945, maka harus ditegaskan secara bersyarat pengecualian bagi Pimpinan Organisasi Advokat yang sedang menjabat sebagai Pejabat Negara. Hal ini penting dirumuskan, mengingat Pemohon mengajukan permohonannya pasca pengangkatan sebagai Wamenko Kumham Imipas. Tentu akan menjadi lain halnya, jika seseorang yang diangkat sebagai Pejabat Negara itu kemudian dipilih menjadi Ketua Umum PERADI. Hal ini sejalan dengan prinsip erga omnes dan prospektif dalam setiap putusan Mahkamah Konstitusi. Sifat prospektif pada putusan Mahkamah bertujuan untuk menjaga kepastian hukum dan menghindari konflik norma (antinomy) akibat perubahan aturan yang berlaku surut. Posisi sebagai Ketua Umum PERADI telah ada sebelum perolehan jabatan sebagai Wamenko Kumham Imipas. Oleh karena itu, berdasarkan aturan pengecualian sebagaimana diutarakan di atas, maka putusan Mahkamah tidak dapat berlaku retroaktif.

Terakhir, dapat penulis katakan bahwa permohonan uji materiil yang dimajukan Pemohon tidak rasional dan tentunya tidak proporsional. Pada akhirnya menghalangi hak dan/atau kewenangan konstitusional Presiden yang memiliki hak prerogative berdasarkan UUD 1945. Implementasi hak prerogatif tersebut tidak pula bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian tidak ada konflik norma yang harus diselesaikan melalui putusan Mahkamah Konstitusi.

Patut diingat bahwa prasangka (kecurigaan) tidak boleh menjadi dasar untuk memperlakukan orang secara tidak adil. Dalam Al-Qur’an ditegaskan, “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain (Al-Hujurat: 12).

Demikian, semoga bermanfaat.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button