Opini

Musrenbang Yang Mandul, Antara Janji Partisipasi Dan Realitas Formalitas Pembangunan

Oleh : Taufiqurrahman ( Politisi Partai Demokrat )

Jakarta, 8 Oktober 2025

Pendahuluan :

Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) digadang-gadang sebagai pilar demokrasi dalam sistem perencanaan pembangunan di Indonesia. Berangkat dari semangat kedaulatan rakyat, Musrenbang idealnya menjadi ruang partisipasi aktif masyarakat untuk merumuskan, melaksanakan, mengawasi, dan mengevaluasi pembangunan. Namun, realitas di lapangan seringkali jauh dari idealisme tersebut. Musrenbang justru terperangkap dalam rutinitas seremonial yang formalitas, di mana suara rakyat tereduksi menjadi sekadar lampiran daftar usulan yang nasibnya ditentukan oleh elite dan ego sektoral birokrasi.

Perencanaan:

Suara yang dibisukan dalam Kebisingan Agenda Elite
Dalam fase perencanaan, partisipasi masyarakat seharusnya menjadi fondasi utama. Musrenbang tingkat desa/kelurahan menjadi pintu pertama bagi warga untuk menyampaikan aspirasi dan kebutuhan riil mereka. Akan tetapi, proses ini kerap menjadi ajang formalitas. Partisipasi masyarakat terbentuk oleh sejumlah

Kendala:

Akses Informasi yang Terbatas: Masyarakat sering kali tidak mendapatkan informasi yang memadai mengenai jadwal, agenda, dan mekanisme Musrenbang, apalagi memahami teknis perencanaan yang rumit.

Dominasi Elit Lokal, Ruang musyawarah sering kali didominasi oleh segelintir elite lokal atau tokoh masyarakat yang memiliki kedekatan dengan pemerintah, sehingga suara warga yang paling membutuhkan sering terpinggirkan.
Birokrasi yang Tidak Responsif: Usulan dari masyarakat, terutama yang bottom-up (dari bawah ke atas), seringkali tidak terakomodasi di tingkat kecamatan atau kabupaten karena tidak sejalan dengan agenda top-down (dari atas ke bawah) pemerintah daerah. Alhasil, semangat partisipatif hanya menjadi hiasan narasi, sementara keputusan tetap di tangan segelintir orang.
Teknologi yang Tidak Merata: Implementasi sistem e-Musrenbang yang digadang-gadang sebagai solusi justru menciptakan jurang partisipasi baru. Masyarakat yang gagap teknologi atau tidak memiliki akses memadai semakin terpinggirkan dari proses perencanaan.

Pelaksanaan:

Proyek Datang, Aspirasi Hilang,Ketika usulan dari Musrenbang disahkan menjadi program pembangunan, di sinilah kerap terjadi disorientasi. Proyek yang dijalankan sering kali tidak mencerminkan kebutuhan asli masyarakat, melainkan didasarkan pada keputusan politis atau ego sektoral. Masyarakat yang sudah berpartisipasi dalam perencanaan tiba-tiba menjadi penonton pasif. Proyek yang dikerjakan pun kadang tidak sesuai dengan usulan awal, atau malah proyek yang tidak pernah diusulkan di Musrenbang justru muncul. Hal ini memicu hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap proses Musrenbang itu sendiri.

Pengawasan:

Kontrol Rakyat yang Dipreteli,Partisipasi masyarakat tidak berhenti pada perencanaan dan pelaksanaan. Pengawasan adalah tahap krusial untuk memastikan pembangunan berjalan efektif dan bebas korupsi. Namun, mekanisme pengawasan oleh masyarakat dalam Musrenbang sangatlah lemah.

Tidak Adanya Keterbukaan Informasi: Masyarakat sulit mengakses informasi tentang alokasi anggaran, rincian proyek, dan progres pengerjaannya.


Kurangnya Mekanisme Aduan yang Efektif: Saluran aduan yang tersedia seringkali tidak responsif atau birokratis, membuat masyarakat enggan melaporkan penyimpangan.
LSM dan Media yang Terbatas: Peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan media sebagai pengawas independen sering terhambat oleh berbagai tantangan, termasuk keterbatasan sumber daya atau intimidasi.

Evaluasi:

Formalitas Tanpa Perbaikan
Tahap evaluasi pembangunan juga jarang melibatkan masyarakat secara signifikan. Laporan evaluasi cenderung bersifat formalitas dan dikerjakan secara sepihak oleh pemerintah. Umpan balik dari masyarakat, jika pun ada, sering diabaikan atau tidak ditindaklanjuti. Akibatnya, Musrenbang tahun berikutnya kembali mengulang siklus yang sama: mengidentifikasi masalah yang sebenarnya sudah diusulkan bertahun-tahun sebelumnya tanpa ada perbaikan signifikan. Proses evaluasi yang mandul ini menghilangkan kesempatan untuk perbaikan sistematis dan pembelajaran dari kesalahan.

Kesimpulan :

Musrenbang saat ini menghadapi dilema serius: antara menjadi sarana partisipasi sejati atau sekadar panggung seremonial. Demi mewujudkan pembangunan yang benar-benar berpihak pada rakyat, Musrenbang harus direformasi secara mendalam. Bukan sekadar merumuskan usulan, tetapi juga memberdayakan rakyat di setiap tahapan pembangunan—dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, hingga evaluasi. Tanpa adanya partisipasi rakyat yang sejati, Musrenbang akan terus menjadi ritual tahunan yang menghasilkan dokumen tanpa makna, sementara kebutuhan dan aspirasi masyarakat tetap terabaikan.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button