Opini

Pasca Insiden Pengambilan ID Wartawan Istana Dan Perkembangan Tetras Politica

Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo,.M.Kez

Jakarta, 30 September 2025

Artikel ini saya tulis berdasarkan banyaknya comment hingga japri langsung ke HP, setelah Artikel kemarin marak diterbitkan di berbagai media (= “Insiden Pengambilan ID Wartawan CNN di Istana telah Selesai dan Pentingnya UU No 40 tahun 1999”). Selain bersyukur atas Pengembalian ID Wartawan Istana atasnama Diana Valencia CNN, mayoritas pembaca mempertanyakan apakah Tetras Politoca bisa diwujudkan.di Indonesia.

Semua sebenarnya berasal dari hak konstitusional rakyat dan Hak Azasi Manusia (HAM) itu sendiri yang dijamin dan dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan wajib dihormati oleh seluruh lembaga tinggi negara (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif), termasuk penegak hukum. Tidak ada peraturan perundang-undangan yang boleh berada di bawah Undang-Undang Dasar 1945 dan putusan MA/MK, atau peraturan perundang-undangan di bawahnya, yang merugikan Kemerdekaan Pers dan hak konstitusional rakyat Indonesia

Dalam sistem pemerintahan demokrasi kuno, yang dimulai pada tahun 507 SM, terdapat pemisahan kekuasaan yang dikenal saat ini sebagai Trias Politica: Ekklesia (Majelis), Boule (Dewan), dan Dikasteeia (Pengadilan). Kemudian pada era abad pertengahan berkembanglah demokrasi klasik dan demokrasi modern pada abad ke 17 dan 18 muncul 4 tokoh demokrasi yaitu Thomas Hobb, John Locke, Rousseau dan Charles de Baron Montesquieu yang memperkenalkan istilah baru dalam Trias Politica dan mengganti namanya menjadi Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif.

Pada tahun 1766 di Swedia, Kebebasan Pers pertama kali diakui oleh satu negara melalui UU yang dikenal sebagai UU Kebebasan Pers (1766). Pada tahun 1791, di Amerika Serikat, melalui Amandemen Pertama Konstitusi AS, Kebebasan Pers dijamin dalam Konstitusi satu negara, yang diratifikasi oleh seluruh 50 negara bagian pada tahun 1791. Baru-baru ini, mulai abad ke-18, Trias Politica telah berkembang menjadi Tetras Politica, atau lebih dikenal sebagai Empat Pilar Demokrasi, yaitu Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, dan Kebebasan Pers.

Oleh karena itu, dalam sistem pemerintahan demokrasi modern, status jurnalis, reporter, penyiar, YouTuber, podcaster, blogger, TikToker, dll., ditempatkan pekerjaan mereka setara dengan Presiden, anggota Parlemen, dan hakim pengadilan. Jurnalis memiliki hak imunitas dari kriminalisasi dan penuntutan atas semua hasil jurnalistik mereka. Prinsip “Kebebasan Pers” dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945 dan bahkan hukum internasional. Secara lebih detail inti Artikel ini sudah saya tulis dalam Buku “Jokowi’s White Paper” yang sudah didistribusikan luas dan bisa dimiliki melalui berbagai reseller yang tersedia.

Secara internasional, Kebebasan Pers dijamin dan dilindungi oleh hukum internasional, termasuk Pasal 19 Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (1948), dan Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi pejabat pemerintah dan aparat penegak hukum di Indonesia untuk tidak menghormati Kebebasan Pers yang dijalankan oleh jurnalis di negara ini. Kebebasan berbicara, kebebasan berekspresi, kebebasan pers, kebebasan berkumpul, kebebasan berserikat, hak untuk mengajukan petisi kepada pemerintah, dan hak untuk mencari, menerima, dan berbagi informasi adalah kegiatan yang dilindungi secara konstitusional yang tidak dapat dikriminalisasi atau dituntut.

Ini berarti bahwa kebebasan berbicara, kebebasan berekspresi, kebebasan pers, kebebasan berkumpul, kebebasan berserikat, hak untuk mengajukan petisi kepada pemerintah, dan hak untuk mencari, menerima, dan berbagi informasi adalah kegiatan yang dilindungi secara konstitusional yang tidak dapat dikriminalisasi atau dituntut. Jelas, kegiatan yang secara hukum dilindungi dan dijamin oleh UUD 1945, dan bahkan oleh hukum internasional, tidak dapat dikriminalisasi atau dituntut di pengadilan.

Secara rinci, Pasal 28E ayat 3 UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Oleh karena itu, pengambilan foto, video, atau perekaman dapat dianggap sebagai bagian dari penyampaian pendapat, terutama untuk: jurnalisme, dokumentasi demonstrasi damai, pelaporan publik, dan pengawasan sosial (jurnalisme warga). Sementara itu, Pasal 28F UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan segala cara yang tersedia.” Artinya, pengambilan gambar, perekaman video, atau perekaman video dapat dianggap sebagai cara untuk mencari dan mengolah informasi serta menyampaikan informasi kepada publik.

Kebebasan ini juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya bagi wartawan; Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP); Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Pasal 19); dan Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Namun, perlu dicatat bahwa kebebasan ini bukannya tanpa batas. Terdapat batasan-batasan, termasuk yang tidak dapat diterapkan kepada individu sebagai warga negara karena perlindungan privasi, seperti larangan mengganggu privasi orang lain (Pasal 28G). Oleh karena itu, kegiatan memotret, merekam film, dan merekam video dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945, khususnya melalui Pasal 28E ayat (3) tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat dan Pasal 28F tentang Hak Memperoleh dan Menyampaikan Informasi..

Kesimpulannya, Tugas Jurnalistik sebagaimana yang dilakukan salahsatunya oleh Jurnalis Diana Valencia (CNN) di Istana dilindungi UU dan jelas sangat diperlukan oleh masyarakat sebagai salah satu pilar demokrasi dari Media dalam Tetras Politica selain Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Negara Demokrasi seperti Indonesia harus menjunjung tinggi azas tersebut, kalau tidak mau disebut kembali ke Era OrBa.Alhamdulillah insiden Pengambilan ID Wartawan Istana kemarin tidak berkepanjangan dan Deputi Biro Protokol Pers & Media Istana (BPMI), Moh Yusuf Permana sudah mengembalikannya secara langsung dan meminta maaf secara terbuka serta berjanji kasus serupa tidak akan terjadi lagi.Apapun itu tetap gelorakan #AdiliJkW dan #MakzulkanFufufafa

)* Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes – Pemerhati Telematika, Multimedia, AI dan OCB Independen – Selasa, 30 September 2025

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button