Opini

Relawan Jokowi Zonk, Hanya Gaya

Oleh : Syafril Sjofyan (Pemerhati Kebijakan Public, Aktivis Pergerakan 77-78)

Bandung, 19 Oktober 2025

Jokowi sesumbar akan mendukung sepenuhnya partai Gajah (PSI). Partainya Jokowi dan anaknya Kaesang Pangarep. Jokowi meminta para relawan mendukung pasangan Prabowo – Gibran 2 periode. Aneh memang kelakuannya. Baru satu tahun Prabowo memerintah, belum kelihatan hasil. Jokowi bernafsu melakukan “faith accomply” menjadikan Gibran sebagai pasangan tetap Prabowo. Membuat jengah, baik Prabowo maupun partainya Gerindra. Kinerja Gibran pun tidak jelas. Malah sekarang Gibran dirundung kasus tidak mempunyai ijazah SMA/ SMK. Sebagai syarat utama pencalonan cawapres.

Tentu saja keinginan Jokowi disambut oleh relawannya. Lebih heboh dan lebih panik. Mereka berusaha mengumpulkan logo organisasi relawan. Nyatanya kelompok relawan tersebut sudah terpecah belah. Sudah banyak ditinggalkan oleh para pendirinya. Walaupun berjudul relawan Jokowi, Rejo, Projo, Joman dll, “mengaku” mendukung Prabowo. Tak peduli nama relawan Jokowi. Yang penting bisa berlindung pada kekuasaan, minimal jabatan komisaris BUMN.

Sementara Presiden Prabowo sendiri berbeda dengan Jokowi. Tidak pernah membentuk kelompok relawan. Sangat percaya diri dengan mekanisme dan infrastruktur partai. Akan halnya sisa-sisa Relawan Jokowi hanya mampu bernarasi, sekadar omon-omon. Jauh dari kualitas. Hanya mampu menyerang sana sini, kadang berhiba, kadang mempertontonkan tangisan tentang nasib Jokowi. Bahkan berniat unjuk rasa, perempuan memakai BH dan celana dalam.

Kekuatan relawan Jokowi sebenarnya sudah lama terpecah, ada marah karena Jokowi mengkhianati PDI Perjuangan. Ada kecewa karena Jokowi memaksa diri membentuk dinasti padahal kualitas keluarganya rendah. Tersisa relawan yang menganggap Jokowi masih punya pengaruh terhadap Prabowo. Padahal petinggi/ dedengkot relawan Jokowi seperti Budi Arie Ketua Projo sudah digusur alias dipecat sebagai Menteri oleh Prabowo. Silvester Matutina Ketua Solmet, relawan Jokowi garis keras, “menghilangkan diri” dari kejaran kasus hukum, Immanuel Ebenezer Gerungan (Noel) ketua kelompok Jokowi Mania (JoMan) di cokok KPK, jabatan Menteri Muda di copot Prabowo.

Sisa-sisa relawan tersebut berlagak seakan masih seperti Jokowi berkuasa. Untuk tampil mereka masih eksis memperlihatkan logo-logo perkumpulan ke media. Sebenarnya kondisinya sudah kosong alias Zonk. Sementara menteri-menteri Jokowi di kabinet Merah Putih sudah mulai berhitung, sejak dipecatnya Menkeu Sri Mulyani (SMI), Menteri Pemuda dan Olah raga Dito Ariotedjo, sisa yang ada, berusaha mencari selamat. Berdiam diri untuk “tidak lagi” kelihatan mendukung Jokowi atau Gibran Juga kuatir di “nepalkan”, arus masyarakat yang mulai berubah.

Sementara yang duduk sebagai komisaris perusahaan BUMN juga berusaha diam. Menyelamatkan diri daripada kehilangan penghasilan. Dipastikan mereka kuatir sekali jabatannya dicopot. Nampak jelas Elit Parpol yang tergabung di Koalisi pemerintahan Prabowo juga berdiam diri. Termasuk Bahlil Lahadahlia Ketua Umum Golkar tidak lagi memuji dan memuja si raja Jawa, karena posisinya di partai juga mulai goyah.

Mari kita bahas partai Gajah. Sewaktu Jokowi berkuasa dua periode. Pada Pemilu Legislatif semua daya dan fasilitas dia kerahkan. Gebyar kampanye PSI sangat istimewa melebihi partai besar. Pasti juga mengerahkan semua para relawan Jokowi. Faktanya pada Pileg 2019 hanya mampu meraih suara 1,89 % dan pada pileg 2024 memperoleh 2.8%. Artinya berdasarkan fakta dan data tersebut dengan segala daya & kekuatan yang dimiliki Jokowi ketika berkuasa hanya mampu mendongkrak 1 % saja. Walaupun sang anak Kaesang Pangarep dijadikan Ketua Umum PSI Jokowi zonk.

Dapat dibayangkan Jokowi sewaktu berkuasa dapat memanfaatkan sepenuhnya akses kekuasaan secara langsung ke institusi Polri, TNI, MK, KPU, KPK dll. Menteri-menteri khususnya Mendagri, mengumpulkan kepala-kepala desa. Dana bansos dikosentrasikan pada saat kampanye. Pertanyaannya kemenangan Pilpres pasangan no. 2 sebanyak 58% apakah hasil para relawan Jokowi ?. Jawaban pasti tidak, jika melihat hasil yang diperoleh PSI.

Bicara data hasil Pilpres, Pasangan No. 1 (Anies-Muhaimin) memperoleh suara 24,95%, bandingkan dengan hasil perolehan Pileg partai pendukung PKS suara 8,42%, Nasdem 9,66% PKB 10,62%, Partai Ummat 0,42% Total 29.12%. Berarti ada selisih antara hasil Pilpres dengan hasil Pileg partai pendukung 29,12% – 24.95% = 4,17%. Jika diasumsikan pemilih konsisten, memilih partai dan memilih pasangan capres yang didukung partai. Terjadi major deviation/ penyimpangan besar suara 4.17%, Pertanyaan apakah pemilih partai tidak konsisten dengan pasangan yang didukung partai?. Ataukah ada sesuatu?.

Pasangan No.2 (Prabowo-Gibran) memperoleh suara 58,58%, pada pileg partai pendukung Gerindra memperoleh suara 13,22%, Golkar 15,29%, Demokrat 7,43%, PAN 7,24%, PSI 2,8%, PBB 0,32%, Garuda 0,27%, Gelora 0,84%, Total Pileg : 47.41%. Ada selisih 58.58% – 47,41% = 11,7%, ada excess/ kelebihan suara untuk Pilpres dibanding suara partai pendukung, normal timbul pertanyaan excess dari mana?.

Pasangan No. 3 (Ganjar-Mahfud) memperoleh suara 16,47%, dibandingkan perolehan suara partai pendukung pada Pileg, PDIP 16,72%, PPP 3,87%, Perindo 1,29%, Hanura 0,72%, Total Pileg 22.6 %, berarti ada kehilangan suara 22.6%-16,47% sebanyak 6,13%, kehilangan yang sama dengan pasangan no. 1.

Ketika proses sidang perselisihan hasil Pilpres di gelar MK, walaupun Keputusan MK final dan mengikat, untuk kemenangan pasangan no. 2. Tetapi ada tiga hakim MK yang dissenting opinion/ berbeda pendapat dengan penuh keyakinan terjadi pelanggaran, meliputi tidak netral pejabatnya daerah, mobilisasi aparatur/ penyelenggara dan politisasi bansos. Ditengah masyarakat muncul istilah Parcok (Partai Coklat). Inilah kekuatan sebagai jawaban terhadap kehilangan suara pasangan no. 1 dan no. 3 dibanding hasil pileg partai pendukung mereka.

Kedepan pada Pileg 2029 akankah cara yang sama akan terjadi?. Jika Jokowi berkuasa pasti terjadi. Tapi Prabowo sepertinya tidak, dia seorang militer yang diajarkan harus sportif/ patriot. Hal tersebut juga di alami oleh SBY, hingga diakhir kekuasaannya dia tidak merasa dihina oleh rakyatnya. Bagi Prabowo keinginan menjadi presiden sudah terpenuhi, sebagai orang di usia tua. Tentu menginginkan legacynya akan dikenang secara baik.

Tidak seperti Jokowi. Sekarang Jokowi merasa sangat direndahkan sehina-hinanya. Karena ulah sendiri “menyembunyikan” ijazah dan mengadukan orang yang ingin mengetahui ijazahnya ke polisi. Juga akibat nafsu kekuasaan tidak terkontrol. Melakuan nepotisme, meloloskan anak yang tidak cukup umur, tidak punya pengalaman yang cukup untuk memimpin Indonesis sebagai negara besar. Termasuk terhina karena ditetapkan oleh OCCRP sebagai Presiden Indonesia terkorup di dunia. Sekarang dirundung tuntutan hukum atas kerugian Woosh, kereta cepat ide yang dia paksakan. Belum lagi dana sendiri untuk membiayai partai anaknya dan sisa-sisa relawan serta advokat pembela hokum pasti terkuras. Entah jika ada pundi tak halal. Wallahualam bi sawab.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button