“Salus Populi Suprema Lex Esto”, Jangan Hanya Pemanis Di Rantis

Oleh : Kiki ( Jurnalis persuasi-news.com )
Jakarta, 2 September 2025
Tulisan Salus populi suprema lex esto acap kali terpampang di bagian belakang kendaraan taktis (Rantis) milik institusi Kepolisian ( Brimob ) jenis water cannon.
Salus populi suprema lex esto kalimat tersebut merupakan dari karya filsuf dan negarawan Romawi, Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) , dalam bukunya De Legibus Kemudian, Thomas Hobbes (1588-1679) dalam karya klasiknya “Leviathan” dan Baruch Spinoza (1632-1677) dalam karyanya “Theological-Political Treatise” menyebutkan terminologi yang serupa. Selain itu, John Locke (1632-1704 M) juga menggunakan diktum tersebut dalam bukunya “Second Treatise on Government” dengan merujuknya sebagai salah satu prinsip fundamental bagi pemerintah, yang mempunyai arti Tentang Hukum.
Kalimat tersebut berasal dari bahasa Latin yang berarti “Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.”
Marcus Tullius Cicero pada saat itu membayangkan, di bawah ancaman situasi dan keadaan darurat maka keselamatan rakyat harus menjadi tujuan yang paling utama, termasuk jika harus menyampingkan aturan hukum. Prinsip ini lalu menjadi jangkar dalam pengambilan keputusan selama berabad-abad dalam teori pemerintahan, khususnya di benua Eropa. Menurut Benjamin Straumann dalam bukunya “Crisis and Constitutionalism: Roman Political Though from the Fall of the Republic to the Age of Revolution” (2016), prinsip Cicero tersebut banyak disalahartikan dengan menempatkan tujuan keselamatan rakyat tanpa mengandalkan hukum dan konstitusi, namun lebih bergantung pada karakter kebajikan dari mereka yang memiliki kekuasaan.
Pandangan inilah yang turut memunculkan konsep raison d’état atau “alasan negara”. Konsep tersebut berpedoman pada alasan politis murni bagi tindakan pemerintah yang mendasarkan pada kepentingan nasional, namun seringkali melanggar prinsip-prinsip keadilan. Inilah yang terjadi sejak masa Niccolò Machiavelli (1469-1527) hingga Carl Schmitt (1888-1985), di mana para ahli teori kedaulatan dan keadaan darurat dari Italia dan Jerman abad ke-20 memandang bahwa pada masa krisis atau darurat, instrumen yang menjadi penting bukanlah tatanan hukum dan konstitusi, tetapi keputusan pemimpin. Akibatnya, tak mengejutkan apabila beberapa negara Eropa mengalami sejarah pahit di bawah kepemimpinan diktator. Penyebabnya, mereka memberikan kekuasaan sangat besar kepada pemimpinnya dengan alasan untuk memudahkan tercapainya tujuan negara.
Demi mencegah terjadinya kediktatoran dan penyalahgunaan kekuasaan maka dikembangkan prinsip-prinsip konstitusionalisme dalam bernegara. Konstitusionalisme ini merupakan filosofi politik yang didasarkan pada gagasan bahwa kekuasaan pemerintah berasal dari rakyat dan harus dibatasi oleh konstitusi. Konstitusionalisme (constitutionalism) ini kadang kala digunakan secara bergantian dengan istilah pemerintahan konstitusional (constitutional government).
sejarah konstitusionalisme modern, Magna Charta menjadi salah satu rujukan awalnya. Kala itu, King John of England (1215) dipaksa oleh para bangsawan (wealthy noble) untuk menandatangani perjanjian yang memuat berbagai pembatasan terhadap kekuasaan Raja. Praktik ini kemudian menjadi akar dari perkembangan konstitusionalisme di berbagai negara dan kawasan dunia, termasuk di Amerika Utara dan Asia.
Terhadap kekuasaan pemerintah, Leonard R. Sorenson (1989) membuat premis bahwa ancaman paling mendasar bagi rakyat adalah pemerintah dengan kekuasaan yang terlalu kuat. Sebaliknya, perlindungan rakyat yang paling mendasar adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya (limited government). Pembatasan ini biasanya dituangkan di dalam konstitusi. Namun, menarik untuk merefleksikan pandangan yang disampaikan oleh Suri Ratnapala (2012). Menurutnya, setiap negara di dunia mengklaim memiliki konstitusi, tetapi hanya sebagian saja yang memiliki pemerintahan konstitusional. Mengapa? Sebab, pembatasan kekuasaan sejatinya tidak sekadar tertulis di atas kertas, namun harus tersedia mekanisme yang jelas untuk menegakan ketentuan konstitusinya.
Pemerintahan konstitusional ini memiliki beberapa elemen dasar. Di antara para cendekiawan dunia, seperti Giovanni Sartori (1987), Louis Henkin (1993), Charles Fombad (2005), Hilaire Barnett (2006), dan Scott Guy (2010), masing-masing memiliki perspektif yang berbeda. Namun di antara mereka terdapat sebagian persamaan mengenai elemen dasar dari pemerintahan konstitusional, yaitu: (1) prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers); (2) prinsip negara hukum (rule of law); (3) prinsip demokrasi perwakilan (representative democracy); dan (4) prinsip perlindungan hak dan kebebasan dasar (protection of fundamental rights and freedoms).
Pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 disebutkan secara jelas dan tegas bahwa melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia merupakan salah satu tujuan utama dari pembentukan Pemerintahan Negara Indonesia. Dengan demikian, adagium Salus populi suprema lex langsung menemukan landasannya dalam sumber hukum tertinggi di Indonesia (the supreme law of the land), yaitu Undang-Undang Dasar.
Kembali kepada konteks Tulisan Salus populi suprema lex esto acap kali terpampang di bagian belakang kendaraan taktis (Rantis) milik institusi Kepolisian ( Brimob ) jenis water cannon.
Pada konteks penggunaan “Salus populi suprema lex esto” di rantis Brimob, yang seharusnya memiliki makna penting. Keselamatan masyarakat adalah prioritas tertinggi dalam setiap tindakan aparat. Penegakan hukum harus berpihak pada kepentingan rakyat, bukan justru sebaliknya.
Sepatutnya aparat keamanan yang mempunyai tugas menjaga keamanan serta ketertiban tanpa mengorbankan nyawa masyarakat sipil.
Artinya kehadiran semboyan tersebut ( “Salus populi suprema lex esto” ) seharusnya menjadi pengingat bahwa aparat bekerja untuk melindungi, bukan mencelakakan rakyat.
Namun faktanya , makna tersebut justru berbanding terbalik dengan kenyataan yang terjadi pada 28 Agustus 2025. Dalam aksi unjuk rasa yang berujung ricuh, sebuah rantis Brimob justru melindas seorang driver ojek online hingga meninggal dunia.
Insiden yang mengakibatkan korban jiwa seharusnya menjadi refleksi bagi aparat bahwa setiap operasi pengamanan demontrasi harus dilakukan dengan proporsional, manusiawi, dan berorientasi pada keselamatan rakyat.
Kejadian tersebut menjadi kritik keras publik, terhadap pemerintah ( khususnya institusi Polri ) karena semboyan yang tertulis di kendaraan taktis aparat seakan tidak sejalan dengan praktik di lapangan.
“Salus Populi Suprema Lex Esto”, Jangan Hanya Pemanis Di Rantis , SEMOGA.