Opini

Seri 4; Pemakzulan Gibran, Reformasi Polri, UU Perampasan Aset Dan Reshuffle

Oleh : Syafril Sjofyan ( Koord Tim Kajian Forum Tanah Air ( FTA )

Bandung, 17 September 2025

Forum Tanah Air (FTA) diundang Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR-RI (27/8). Sebanyak 20 orang delegasi FTA hadir untuk menyampaikan hasil kajian FTA yang dihimpun dari aspirasi masyarakat. Lebih awal dari tuntutan 18+7 dari Mahasiswa.

RDPU dipimpin/ dibuka oleh Ketua BAM DPR-RI Dr. Ahmad Heryawan, Lc., M.Si, didampingi oleh Wakil Ketua Adian Napitupulu dan beberapa anggota BAM mengikuti secara daring.

Delegasi FTA terdiri dari Ketua Harian Donny Handricahyono, Sekjen Ida NKusdianti, Kabid Organisasi Iskundiarti, Koord. Tim Kajian Syafril Sjofyan, dan beberapa Dewan Pakar; Dr. Refly Harun, Dr. Chusnul Mariyah, Tim Ahli; Dr. Anthony Budiawan, Dr. Marwan Batubara, HM. Rizal Fadillah, SH dan Edy Mulyadi, disertai perwakilan FTA Jatim, Jabar, Yogya, Karina Joedo (FTA diaspora Timteng), Jhon Masli (FTA diaspora USA). Berikut tentang Kasus Politik :

Beberapa masalah utama yang menjadi sorotan publik terhadap situasi politik dipemerintahan Prabowo ini bisa dikatakan mulai sejak awal pemerintahannya, bahkan jauh sebelum kontestasi pemilu itu dilaksanakan.

Masuknya Gibran Rakabumi Raka melalui putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi, dianggap sebagai beban presiden Prabowo yang harus dipikul selama pemerintahannya. Pernyataan FPPI (Forum Purnawirawan dan Prajurit TNI) tentang pemakzulan Gibran yang disampaikan secara resmi kepada DPR RI, patut diproses sesegera mungkin. Suara masyarakat yang diwakili oleh dua ratusan Jenderal, Laksamana, Marsekal, Kolonel yang terdiri dari para pejuang yang sudah malang melintang dalam perjuangan mengisi kemerdekaan di percaya sangat mencintai republik ini harus segera diproses olehDPR-RI.

Dalam hal pengelolaan sumber daya alam, dengan ditetapkannya Perubahan Ke-6 atas UU Minerba, terlihat sangat jelas kepentingan pro oligarki. Hal ini semakin nyata membuktikan kebijakan tersebut jauh menyimpang dari amanah Pasal 33 UUD 1945.

Ditengah masyarakat berkembang pandangan bahwa dalam 10 tahun pemerintahan sebelumnya, Joko Widodo menggunakan Polri sebagai garda terdepan berpolitik sehingga dikenal muncul istilah dalam masyarakat sebagai parcok (Partai Coklat). Bahkan ratusan purnawirawan Jenderal, Laksamana, Marsekal dan Kolonel melalui pernyataan Forum Purnawirawan dan Prajurit TNI pada tanggal 17 April 2025 menyerukan agar institusi POLRI ditempatkan di Depdagri.

Hal berikutnya yang akan menuai kontroversi adalah RUU POLRI, yang merupakan revisi UU no.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam RUU Polri tersebut beberapa isu sensitif adalah tentang penambahan dan/atau penegasan tugas serta wewenang polisi dalam penanganan kejahatan siber, terorisme, penguatan fungsi intelijen Polri dan pemantauan digital termasuk pengumpulan informasi strategis menjadi perhatian utama.

Tanpa pengawasan yang ketat berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan politik dan/ atau pihak tertentu. Sudah menjadi rahasia umum adanya keterlibatan polisi dalam politik, baik langsung maupun tidak langsung, khususnya dalam dua dekade pemilu pada pemerintahan Joko Widodo. Dengan kenyataan saat ini dimana polisi terindikasi melakukan “abuse of power”, penyalahgunaan kewenangan/ kekuasaan, dikhawatirkan dengan adanya perubahan/ penambahan pasal tersebut dalam RUU Polri akan membuat Polisi menjadi lembaga yang sangat besar kekuasaannya.

Polri adalah institusi negara yang harus netral dan tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik praktis. RUU Kepolisian harus menjamin netralitas secara tegas, tidak hanya di atas kertas. Mekanisme pengawasan eksternal perlu diperkuat, agar publik bisa ikut mengawasi Polri. Polri harus menghindari kesan berpolitik, karena hal itu merusak kepercayaan masyarakat dan mengancam demokrasi. Kepolisian Republik Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, terutama dalam konteks pemilu.

RUU Perampasan Aset untuk memiskinkan para Koruptor sudah menjadi perhatian masyarakat. Terlebih menjadi tekad yang diteriakan oleh Presiden Prabowo pada hari buruh di Monas 2 Mei2025. Sudah selama 17 tahun RUU tersebut digagas namun sampai sekarang masih terkendala di DPR. Akhirnya masyarakat memberi cap kepada politisi “lip service doang”.

Semua partai di depan rakyat bilang anti korupsi, tapi nyatanya RUU Penyitaan Aset mandek di DPR sejak tahun 2008. Padahal secara hukum, RUU ini penting untuk menguatkan pemberantasan korupsi. RUU ini mendesak karena banyak koruptor menyembunyikan aset lewat keluarga/ kerabat atau luar negeri. Tanpa UU ini, negara sulit merampas aset bila terdakwa meninggal atau melarikan diri. Pertanyaannya apakah DPR dan/ atau pemerintah sengaja memperlambat karena banyak elit politik punya kepentingan agar aset mereka tidak mudah diusut?.

Alasan RUU Perampasan Aset “menunggu RKUHAP” hanyalah tameng, pada hal secara hukum RUU Perampasan Aset bisa berdiri sendiri. Mandeknya RUU Perampasan Aset sejak 2008 – hingga saat ini merupakan kegagalan DPR RI dalam menjalankan melakukan fungsinya, serta akan bisa menjadi sejarah buruk bagi DPR RI. FTA meminta agar RUU bisa segera di masukkan dalam rencana Prolegnas Prioritas sehingga “stigma” yang berkembang ditengah masyarakat bahwa anggota DPR lebih mementingkan nasib diri/ kelompoknya ketimbang rakyat yang diwakilinya bisa terhapus.

Proses pembentukan kabinet yang jauh dari proses meritokrasi, sehingga beberapa menteri tidak memperlihatkan kemampuan dan integritasnya. Beberapa kasus membuat heboh dan menimbulkan indikasi adanya insubordinasi dalam kabinet Merah Putih. Kasus kasus seperti; perubahan distribusi Gas 3 Kg yang menghebohkan bahkan menyebabkan kematian, penyerahan pengelolaan 4 pulau kecil yang dimiliki Pemda Aceh kepada pemda Sumut, tambang Nikel yang merusak cagar alam Raja Ampat, masalah pagar laut, adalah sedikit dari beberapa contoh tidak adanya koordinasi dalam kabinet Merah Putih, bahkan lebih buruk adanya indikasi pembangkangan (insubordinasi) menteri menteri terhadap kebijakan Presiden Prabowo. Sampai saat ini tidak ada sanksi ataupun penggantian (reshuffle) menteri menteri yang terkait yang membuat presiden harus melakukan keputusan radikal dengan membatalkan aturan yang mereka buat.
(Bersambung ke #seri 5; Permasalahan Ekonomi).

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button