Opini

Seri MAMDANI EFEK, Bagian 4 POROS RAKYAT: POLITIK ALTERNATIF DI TENGAH SISTEM BUSUK

Oleh: Edy Mulyadi ( Wartawan Senior )

Jakarta, 4 Juli 2025

Pada artikel-artikel sebelumnya kita sudah bicara soal sepak terjang Zohran Mamdani. Apa saja yang dilakukannya sehingga memenangi pemilihan Wali Kota New York City. Kita juga telah membedah watak busuk oligarki dan kroni-kroninya. Lalu apa solusinya? Apakah kita hanya bisa mengeluh, protes, dan pasrah ditindas? Atau masih ada jalan untuk bangkit dan melawan?

Jawaban jujur: jalan itu ada. Tapi bukan lewat jalur lama. Selama kita terus berharap pada partai lama, tokoh lama, dan sistem lama, kita hanya akan berputar dalam lingkaran tipu daya. Rakyat tetap jadi penonton, oligarki tetap jadi pengatur panggung.

Maka saatnya membangun jalan baru. Jalan politik alternatif. Jalan rakyat. Kita butuh poros politik rakyat.

Kenapa? Karena tidak ada satu pun partai besar yang benar-benar membela rakyat. Semuanya sudah tersandera oligarki. Tokoh-tokoh yang dulu dielu-elukan sebagai harapan, kini berubah jadi makelar kekuasaan.

Poros rakyat dibutuhkan agar rakyat tidak terus-menerus dimobilisasi, dibodohi, dan ditinggalkan setelah pemilu. Poros ini adalah rumah bersama bagi semua elemen. Buruh, petani, nelayan, emak-emak, mahasiswa, ulama, aktivis, dan kelas menengah tercerahkan. Semua berkumpul karena muak pada sistem busuk.

Ini bukan sekadar soal ganti presiden. Tapi ganti sistem. Bukan soal rebut kursi. Tapi merebut kendali arah bangsa.

Dimulai dari Akar Rumput

Kekuatan politik alternatif tidak mungkin dibangun dari atas. Harus dari bawah. Dari komunitas-komunitas yang sudah terbukti saling bantu, saling rawat, dan saling percaya. Itu yang dilakukan Mamdani di New York.

Di kampung-kampung, kita bentuk koperasi rakyat, lumbung pangan, sekolah alternatif. Di kota, bangun posko advokasi, dapur umum, dan forum-forum kajian kritis. Di pesantren dan kampus, munculkan diskusi-diskusi ideologis: Islam, keadilan sosial, anti-kolonialisme. Bahas juga politik etis dan sejarah perjuangan rakyat.

Gerakan ini harus jadi kekuatan sosial dulu, baru jadi kekuatan politik. Jangan buru-buru bikin partai. Bangun dulu basis, kesadaran, dan jaringan. Baru kelak, bisa masuk gelanggang dengan amunisi cukup dan prinsip kokoh.

Salah satu sebab partai dan tokoh bisa dibeli adalah karena mereka tidak mandiri secara pendanaan. Maka poros rakyat harus belajar dari gerakan seperti Mamdani: semua biaya operasional ditanggung oleh rakyat sendiri.

Galang dana dari komunitas, bukan dari konglomerat. Transparan, tanpa mark-up, tanpa siluman. Semua kontribusi dicatat dan diumumkan. Ini bukan hanya soal uang, tapi soal kemerdekaan. Karena selama kita dibiayai oleh pemodal, kita akan selalu jadi jongos mereka.

Dari Politik Alternatif ke Jalan Langit

Gerakan poros rakyat adalah langkah penting. Tapi jangan berhenti di situ. Kita harus bertanya lebih jauh: apa fondasi nilai yang akan jadi pijakan gerakan ini?

Jika gerakan hanya dibangun atas dasar kekecewaan dan semangat melawan, ia rawan disusupi dan dibajak. Maka, poros rakyat ini harus ditopang oleh panduan yang lebih tinggi: wahyu Allah. Kita bukan cuma butuh jalan baru, tapi jalan yang diridhai Langit.

Di Amerika Latin poros rakyat lahir dari semangat keadilan sosial. Di Barat tumbuh dari progresivisme. Maka umat Islam punya modal yang jauh lebih kokoh: sistem hidup ilahiyah yang sempurna, yaitu Islam. Islam bukan cuma agama ritual, tapi ideologi yang menuntun politik, ekonomi, dan seluruh aspek kehidupan.

Zohran Mamdani membuktikan bahwa politik bisa bersih, bisa berani, bisa berpihak ke rakyat kecil. Tapi kuncinya: dia berdiri di atas basis rakyat, bukan elite.

Hal yang sama terjadi di Amerika Latin. Di sana ada Evo Morales di Bolivia, Lula da Silva di Brasil, hingga Gustavo Petro di Kolombia. Mereka semua naik dari gerakan akar rumput, bukan hasil casting oligarki.

Namun Islam punya sejarah yang lebih panjang dan lebih kokoh. Dalam sejarah Islam, kita belajar dari Rasulullah SAW. Nabi membangun masyarakat Madinah dari bawah. Dengan fondasi ukhuwah, keadilan, dan pembebasan. Rasulullah tidak membiarkan minoritas kaya menghisap mayoritas miskin. Negara Islam bertugas melayani, bukan dilayani.

Islam hadir untuk menata ulang relasi kekuasaan, mendobrak tirani, dan mewujudkan sistem politik yang adil, bersih, dan berpihak total pada rakyat. Ini bukan utopia. Ini sejarah yang pernah nyata.

Bentuk Poros yang Diridhai Allah

Kita percaya, rakyat Indonesia bukan bodoh, bukan lemah. Tapi terlalu lama dibungkam. Dibikin sibuk, dibikin takut, dan dipaksa percaya bahwa tak ada alternatif. Setiap menjelang Pemilu, selama berpuluh tahun, kita dijejali dogma memilih yang “terburuk dari yang buruk”.

Cukup sudah. Saatnya kita tunjukkan bahwa ada jalan lain. Ada politik lain. Ada masa depan lain. Tapi semua itu hanya bisa lahir kalau kita berani membangun poros kita sendiri. Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Dan, dipandu oleh Islam.

Poros tanpa utang. Poros tanpa oligarki. Poros yang menegakkan keadilan, menjamin kebutuhan dasar semua warga, dan memuliakan yang lemah.

Karena ini bukan sekadar soal kursi kekuasaan. Ini soal siapa yang kita taati.
Apakah konglomerat dan rezim zalim, atau Allah Rabbul ‘Alamin?

Sebagaimana kata Ali bin Abi Thalib:
“Kebatilan yang terorganisir akan mengalahkan kebenaran yang tidak terorganisir.”

Maka mari kita organisir kebenaran. Kita bentuk poros rakyat yang bukan hanya kuat secara massa, tapi kokoh secara ideologi. Ideologi Islam. Karena hanya dengan itulah kita bisa meraih pertolongan dan ridha Allah.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button