Dunia IslamOpini

Seri Teologi Pembebasan (1) PASRAH KEPADA PENGUASA ZALIM, BEGITUKAH SEHARUSNYA?

Oleh: Edy Mulyadi ( Wartawan Senior )

Jakarta, 3 Juli 2025

Bolehkah kita mengkritik penguasa yang zalim? Bolehkah rakyat marah kepada pejabat yang menindas? Bolehkah kita mencaci penguasa yang selingkuh dengan oligarki? Merampas hak rakyat? Dibenarkankah rakyat melawan kekuasaan yang menindas?

Sebagian orang akan menjawab: tidak boleh. Harus tetap sopan. Harus jaga adab. Islam, kata mereka, bukan agama kemarahan. Tapi agama rahmatan lil alamin. Ramah, bukan marah. Melawan penguasa adalah perilaku kaum Khawarij. Terkutuk! Benarkah begitu?

Mari kita simak firman Allah:

لَا يُحِبُّ اللّٰهُ الْجَهْرَ بِالسُّوْٓءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ سَمِيْعًا عَلِيْمًا

“Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) secara terang-terangan, kecuali oleh orang yang dizalimi. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nisa [4]: 148).

Berbicara buruk itu tidak boleh. Tapi ayat ini memberi pengecualian. Ucapan keras dan pedas dibolehkan keluar dari lisan orang yang dizalimi. Ibnu Katsir menjelaskan, orang teraniaya boleh menyebut keburukan yang menimpanya. Imam Asy-Syaukani bahkan menegaskan: menyebut pelakunya pun dibolehkan jika itu bentuk peringatan agar umat tidak tertipu.

Ulama Penjaga Status Quo?

Sayangnya, makna seperti ini sering dikubur. Banyak habaib, kyai, ajengan, tuan guru, ustaz justru memilih diam. Mereka bungkam saat kekuasaan berselingkuh dengan oligarki, saat rakyat dicekik pajak, harga-harga melambung, dan utang negara diwariskan ke generasi mendatang.

Mereka tahu kriminalisasi ulama dan aktivis terjadi. Tapi tetap saja tak bersuara. Seolah semua itu sama sekali bukan urusannya. Mereka sibuk dengan kajian fikih ibadah sambil menebar tudingan bid’ah, adab makan dan berbagai kesalehan individual lain. Tapi abai terhadap kezaliman nyata yang terjadi di depan mata.

Tak sedikit malah yang menyalahkan rakyat. Menyuruh bersabar. Menasehati agar jangan marah. Jangan membongkar aib penguasa. Seolah-olah menyuarakan kebenaran lebih berbahaya daripada kezaliman itu sendiri.

Padahal, para ulama salaf tidak begitu. Imam Hasan al-Bashri, misalnya. Ketika Gubernur Al-Hajjaj yang zalim meminta nasihat, dia justru berkata: “Wahai Hajjaj! Engkau fitnah bagi umat ini. Engkau rusak dunia mereka dan akan menghancurkan agama mereka juga!”

Imam Abu Hanifah juga menolak tawaran jabatan qadhi agung dari khalifah karena tak ingin jadi stempel kekuasaan. Dia memilih dipenjara dan disiksa, sambil berkata, “Jika aku menerima jabatan itu, berarti aku ikut dalam kezaliman.”

Imam Malik bin Anas menolak baiat paksa, lalu dicambuk hingga tulangnya patah.
Katanya: “Aku tak menghalalkan kebohongan meski demi keselamatan diri.”

Imam Asy-Syaukani dalam tafsirnya Fathul Qadir menulis, “Ucapan pedas terhadap penguasa zalim diperbolehkan bagi yang dizalimi, dan itu termasuk bentuk nahi munkar.”

Lawan, Lawan, dan Lawan!

Rasulullah SAW bersabda:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

“Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi).

Islam itu bukan cuma dzikir dan shalat. Tapi keberanian menegakkan keadilan.
Islam datang bukan untuk menjinakkan rakyat, tapi membebaskan mereka dari penindasan. Islam itu agama paket lengkap: tauhid, keadilan, amar ma’ruf, nahi munkar.

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ…

“Ubah kemungkaran dengan tangan. Jika tak mampu, maka dengan lisan. Jika tak mampu juga, maka dengan hati. Dan itu selemah-lemahnya iman.”
(HR. Muslim).

Diam bukan akhlak mulia saat kemunkaran merajalela. Diamnya ulama saat umat dizalimi adalah bencana.

Apa jawaban kita, jika kelak Allah bertanya: “Apa yang kau lakukan ketika saudaramu ditindas di depan matamu?”.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button