Serial Mamdani Efek (Bagian 1) MAMDANI: INSPIRASI PERLAWANAN RAKYAT MELAWAN OLIGARKI

Oleh: Edy Mulyadi, ( Wartawan Senior )
Jakarta, 30 Juni 2025
Zohran Mamdani. Nama ini sedang membetot perhatian Amerika dan mengguncang fondasi kekuasaan lama. Ia bukan miliarder. Bukan anak dinasti. Bukan jebolan Harvard. Dia muslim kelahiran Kampala, Uganda, 18 Oktober 1991. Baru pada 2018 Mamdani dinaturalisasi jadi warga Amerika.
Anak muda ini memimpin gelombang rakyat kecil di jantung kapitalisme global: New York City. Mamdani baru saja menang di putaran pertama pemilihan walikota NYC. Padahal lawan-lawan politiknya dahsyat. Oligarki kulit putih, konglomerat properti, pendukung Trump, serta lobi Zionis.
Tapi yang lebih mengejutkan: Mamdani berani melawan mereka semua, terang-terangan. Ia menyatakan pro-Palestina, anti-Zionis, dan akan menangkap Netanyahu jika datang ke New York.
Gila? Bisa jadi. Tapi inilah jenis “kegilaan” yang kini justru dirindukan rakyat kecil di seluruh dunia.
Mamdani datang membawa harapan. Ia merangkul semua komunitas yang selama ini dianggap “tak terlihat” oleh sistem. Imigran Asia, Afrika, Latino, komunitas kulit berwarna, buruh, jompo, bahkan LGBTQ. Mereka dia satukan dalam satu semangat: “Invisible People Must Rise!” Ia memperjuangkan upah layak, rumah murah, pajak tinggi untuk orang kaya, dan harga sewa yang dibekukan.
Ini bukan janji kosong. Ini perlawanan ideologis terhadap sistem yang sudah lama melayani segelintir orang.
Mamdani Indonesia, Mungkinkah?
Pertanyaan besar bagi kita: bisakah Indonesia punya Mamdani? Secara potensi, bisa banget. Indonesia juga punya rakyat miskin kota, buruh migran, petani tergusur, nelayan tak punya laut, janda-janda pekerja tambang, hingga mahasiswa yang idealismenya belum terkontaminasi. Kita juga punya ulama-ulama jujur, guru-guru honorer, bahkan aktivis-aktivis muda yang muak dengan sistem korup.
Tapi tantangannya berat. Di sini, siapa pun yang coba melawan sistem akan langsung dituduh radikal, anti-NKRI, bahkan dicap komunis atau khilafah. Sementara itu, sistem politik kita dikuasai partai yang menjual tiket kekuasaan ke para cukong. Kandidat-calon pemimpin tak mungkin maju tanpa modal besar. Artinya, sejak awal mereka sudah diijon oleh kepentingan oligarki.
Di titik ini, sosok seperti Mamdani menjadi oase di padang tandus politik kita. Dia membuktikan, bahwa politik bisa dikerjakan tanpa uang cukong. Tanpa tunduk pada lobi Yahudi. Tanpa menjilat elite lama. Ia membuktikan bahwa gerakan rakyat bisa menumbangkan kekuasaan lama. Asal ada konsolidasi yang kuat.
Pelajaran Penting dari Mamdani
Apa yang bisa kita tiru dari Mamdani? Pertama, berani melawan arus. Mamdani tidak main aman. Dia tahu siapa musuhnya. Mamdanj bahkan menyebut terang-terangan lawannya: Zionis, Trump, korporasi rakus, dan sistem warisan kolonial. Kita di Indonesia sering terlalu takut menyebut nama. Takut diciduk, takut dipersekusi, atau takut nggak viral.
Kedua, membangun basis politik dari bawah. Mamdani didukung donasi rakyat kecil. Rata-rata nyumbang $20–$50. Bukan cukong. Bukan pengembang. Bukan bandar politik.
Kita pun harus mulai meninggalkan logika “tunggu disokong elite”. Yang perlu dibangun adalah jejaring aktivis, komunitas korban penggusuran, mahasiswa, pesantren, kelompok tani, dan buruh pabrik. Mereka modal besar untuk membentuk poros rakyat.
Ketiga, mengubah rasa takut menjadi kekuatan moral. Mamdani tahu dia akan diserang. Dan betul: Trump langsung memberi cap komunis. Yang lain menstigma dia sebagai ekstremis, anti-Amerika, anti-Israel. Tapi dia tidak mundur. Karena dia tahu: rakyat kecil tidak butuh politisi penakut. Mereka butuh pemimpin yang mau diserang demi mereka.
Menuju Poros Rakyat Indonesia
Indonesia tidak kekurangan orang pintar. Tapi kita kekurangan orang berani. Kita juga defisit orang berani. Lebih langka lagi, orang pintar dan berani, plus jujur. Sosok seperti Mamdani bisa lahir di Indonesia. Syaratnya, rakyat berhenti berharap pada elite. Mulai membangun kekuatan sendiri.
Rakyat tidak butuh superhero. Yang dibutuhkan adalah gerakan kolektif. Gerakan yang memunculkan ratusan Mamdani lokal dari kampung ke kota. Dari pesantren ke kampus. Dari buruh ke petani. Gerakan inilah yang suatu saat bisa menumbangkan oligarki tambang, properti, dan rente kekuasaan. Mereka ini yang selama ini menghisap darah rakyat.
Saat itu tiba, rakyat Indonesia tak lagi sekadar menonton. Tapi berdiri tegak sebagai aktor utama perubahan.
Dan sejarah akan mencatat: perlawanan itu dimulai dari yang kecil. Tapi tidak pernah padam.