Ijazah Jokowi Digugat Lagi, Edy Mulyadi : “Ujian Keadilan Di Tengah Bayang Kekuasaan”

Jakarta, 26 April 2025
Sebagaimana beritakan sebelumnya, Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H., secara resmi mendaftarkan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) ke Pengadilan Negeri Kota Surakarta pada hari , Senin, 14 April 2025. Gugatan tersebut ditujukan kepada empat pihak: Joko Widodo (Mantan Presiden Republik Indonesia) sebagai Tergugat I, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Surakarta sebagai Tergugat II, SMA Negeri 6 Surakarta sebagai Tergugat III, dan Universitas Gadjah Mada sebagai Tergugat IV.
Dalam mengajukan gugatan, Dr. Taufiq menunjuk kuasa hukumnya yang tergabung dalam Tim Pengacara bernama TIPU UGM, yang merupakan akronim dari Tolak Ijazah Palsu Usaha Gakpunya Malu. Nama ini dipilih sebagai bentuk kritik terhadap dugaan manipulasi data akademik yang menjadi pokok gugatan.
Pengadilan Negeri Surakarta, Jawa Tengah menggelar sidang perdana dugaan ijazah palsu Joko Widodo (Jokowi), Kamis (24/4/2025)
Gugatan terhadap Joko Widodo ( Jokowi ) , Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Surakarta, SMA Negeri 6 Surakarta, dan Universitas Gadjah Mada tersebut banyak mendapatkan tanggapan dari berbagai kalangan dengan berbagai latarbelakang, kali ini respon dari salah satu wartawan senior Edy Mulyadi.
Indonesia benar-benar disiksa oleh Jokowi. Energi dan sumber daya rakyat, juga penguasa, habis terkuras oleh gaduh ijazahnya. Meminjam diksinya Roy Suryo, sungguh terwelu!. Yang teranyar, ijazahnya digugat lagi. Kali ini datang dari Dr. Muhammad Taufiq, praktis hukum yang juga Presiden Asosiasi Pidana Indonesia, kata Edy Mulyadi melalui keterangan tertulisnya yang diterima redaksi persuasi-news.com pada hari Jum’at (25/4/2025).
Taufik menggugat empat pihak sekaligus. Joko Widodo (Jokowi), Universitas Gadjah Mada (UGM), SMA Negeri 6 Surakarta, dan KPU Kota Solo. Gugatan didaftarkan di Pengadilan Negeri Surakarta pada 24 April 2025, dengan nomor perkara 99/Pdt.G/2025/PN Sk. Gugatan ini bukan sekadar soal keabsahan ijazah seorang mantan presiden. Ia juga sekaligus ujian bagi integritas hukum. Yang paling penting, keberanian institusi negara menyingkap kebenaran di bawah tekanan kekuasaan, kata pria yang biasa disapa “Bang Edy” tersebut.
Saya kenal Taufik lumayan baik. Kami hampir seumuran. Orangnya baik. Sederhana tapi royal. Doyan mentraktir. Kadang-kadang seperti kemelinthi. Hihihi… Beberapa kali tampil bareng dalam event diskusi. Saya pernah datang dan bikin podcast di kantornya, di Solo. Dia juga mau mendatangi saya di hotel tempat saya menginap. Lagi-lagi bikin podcast, ungkap dia.
Gugatan ini berpijak pada tuduhan, bahwa ijazah SMA Jokowi tidak diterbitkan oleh SMA Negeri 6 Solo. Lalu dari mana? Dari Sekolah Menengah Pembangunan Persiapan (SMPP). Taufiq menegaskan, SMA Negeri 6 baru berdiri pada 1986. Ini jauh setelah Jokowi diklaim lulus. Dugaan diperkuat temuan teman seangkatan Jokowi. Mereka ternyata memiliki ijazah SMPP, bukan SMA Negeri 6. Lebih jauh, UGM dikritik karena pernyataannya yang dianggap naif. Mosok ijazah Jokowi disimpan universitas? Sungguh praktik yang tidak umum. KPU Solo pun tak luput dari tudingan. Mereka dianggap lalai, karena tidak memverifikasi fotokopi ijazah yang dilegalisasi, papar wartawan senior tersebut.
Menurutnya, Jika tuduhan ini terbukti, implikasinya monumental. Legitimasi pendidikan Jokowi dan fondasi karier politiknya akan runtuh. Ini memantik pertanyaan keabsahan dua periode kepresidenannya.
Membiarkan Kebohongan Berkuasa?
Gugatan ini adalah seruan untuk akuntabilitas. Jokowi kini dihadapkan pada tuduhan yang menyerang inti integritasnya. Ijazah bukan sekadar kertas. Ia adalah simbol kejujuran seorang. Apalagi, khususnya, pemimpin.
Jika terbukti ada manipulasi, ini bukan hanya kegagalan pribadi. Ini sekaligus cerminan sistem yang membiarkan kebohongan berkuasa.
KPU, sebagai penjaga gerbang demokrasi, seharusnya menjadi benteng verifikasi. Bukan sekadar stempel legalisasi. UGM, sebagai mercusuar akademik, harusnya menjunjung kebenaran. Bukan melindungi narasi elit kekuasaan.
Gugatan ini, dengan demikian, bukan hanya melawan Jokowi. Tapi juga melawan institusi yang dianggap berkompromi dengan kekuasaan. Maaf, “institusi pelacur”. Atau, lebih tepatnya “melacurkan diri”!, tutur Edy.
Kita tahu jalan menuju keadilan tidaklah mulus. Jokowi memang mencoba menegaskan keaslian ijazahnya. Ia bahkan menunjukkan ijazah dari SD hingga perguruan tinggi kepada wartawan, meski dengan syarat tidak boleh difoto. Tapi langkah ini justru mengundang kecurigaan publik,kata dia.
Jurus Akal Bulus Jokowi
Sepertinya, dengan menunjukkan ijazahnya kepada wartawan, Jokowi berusaha menghindari jebakan transparansi publik. “Saya sudah tunjukkan ijazah saya, lho.” Selanjutnya dia pun menyerahkan keputusan kepada pengadilan. Tapi, benarkah begitu? Hati-hati terhadap jurus akal bulus Jokowi!
Sidang perdana memilih mediasi. Dengan Prof. Adi Sulistiyono sebagai mediator, juga menimbulkan kekhawatiran. Mediasi tertutup berpotensi meredam gugatan sebelum masuk pokok perkara. Mengaburkan peluang publik untuk melihat kebenaran terungkap di sidang terbuka, katanya.
Edy Melanjutkan, Tapi saya tidak khawatir. Saya yakin redaman gugatan sebelum pembuktian di pengadilan tak bakal terjadi. Saya kenal baik Taufik. Dia seorang fighter. Dia petarung. Taufik akan berjuang. Keras, bahkan ekstra keras, untuk membuktikan kebohongan Jokowi dan para begundalnya.
Kalau gugatan kali ini pun kembali kandas, itu semata-mata karena cawe-cawe kekuasaan. Bukan kurang data, fakta, dan bukti. Ini pula yang terjadi pada begitu banyak gugatan melawan penguasa, khususnya Jokowi, keluarga, dan para kroninya.
Jokowi memang sudah enam bulan lebih tak berkuasa. Tapi faktanya dia masih memiliki pengaruh besar, melalui warisan politiknya.
Hukum (Harusnya) untuk Rakyat
Tapi, satu hal yang pasti, aksi Taufiq adalah perlawanan terhadap narasi resmi yang dipaksakan penguasa. Taufik mengingatkan, bahwa hukum seharusnya jadi alat rakyat untuk menuntut keadilan. Bukan monopoli elit.
Karenanya, meski Jokowi telah lengser, isu ini tetap relevan untuk menggugat dinasti politik yang dibangunnya. Terutama melalui kehadiran putranya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai Wakil Presiden.
Pada akhirnya, gugatan ini adalah cerminan paradoks demokrasi Indonesia. Semangat menuntut kebenaran berhadapan dengan tembok kekuasaan yang kokoh. Pengadilan Surakarta kini menjadi panggung, tempat independensi hukum diuji. Akankah sidang ini menghasilkan kejelasan yang ditunggu. Atau justru tenggelam dalam labirin mediasi dan tekanan kekuasaan?, kata “Bang Edy”.
Yang pasti, gugatan ini telah menyalakan kembali pertanyaan kuno namun abadi: sejauh mana kebenaran bisa bertahan di hadapan kekuasaan? Bagi rakyat yang masih percaya pada keadilan, jawabannya terletak pada keberanian untuk terus bertanya. Dan menuntut!, Tutup dia.