Rumitnya Proses Pemakzulan Wapres, Antara Teori, Fakta Dan Keniscayaan Suara Rakyat

Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes
Jakarta, 12 Juni 2025
Meski sempat mereda, kabar pemakzulan Wapres yang disuratkan oleh Forum Purnawirawan Prajurit Tentara Nasional Indonesia (FPPTNI) kembali mengemuka. Minggu ini setidaknya 2 (dua) Acara Talkshow yang cukup populer yakni Rakyat Bersuara (iNews) dan ILC / Indonesia Lawyer Club (YouTube) mengangkat topik yang sangat aktual tersebut. Perlu dicatat, saya kebetulan bukan menjadi narasumber dari kedua acara tersebut, jadi pandangan ini InshaaAllah obyektif.
Mengapa topik Pemakzulan Wapres ini menjadi aktual dan dibahas kembali, tentu karena hal yang sangat dinantikan oleh mayoritas masyarakat Indonesia ini memang penting untuk mendapatkan perhatian rakyat, minimal menjadi tema diskursus perbincangan waras yang seharusnya terjadi. Meski surat FPPTNI sampai saat ini belum dibahas di DPR-RI, tentu ini hanya masalah teknis saja, karena kebetulan wakil rakyat tersebut masih reses sampai 26/06/25 mendatang.
Dalam tulisan sebelumnya (“Pemakzulan Makin Mendesak, Akun Resmi IG Wapres Gibran Tercyduk Follow Akun JudOl, Ambyar” 05/06/25 kemarin) saya sudah detailkan bagaimana isi dan tujuan surat FPPtNI yang mendesak DPR-RI untuk memakzulkan Wapres tersebut, lengkap dengan alasan-alasan logis didalamnya, mulai dari Cacat konstitusi Putusan MK 90 yang sangat kontroversial, Sosoknya yang tidak kompeten dan qualified, Kasus Akun KasKus Fufufafa yang sangat hatespeech, kampungan hingga SARA dan 99,9% identik, sampai kepada korupsi keluarganya yang sudah dilaporkan ke KPK.
Namun selain harus menunggu Surat FPPTNI ini dibahas dalam Rapat Paripurna pertama setelah reses mendatang (20/06/25 atau 27/06/25), secara teknis jika melalui prosedur normal memang proses ini maaih cukup panjang dan berliku. Kita bisa melihat komposisi DPR-RI berdasar hasil Pemilihan Legislatif DPR RI 2024 lalu Tiga besarnya adalah sbb: 1. PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) 110 kursi dengan 25.387.279 suara (16,72%), 2. Golkar (Partai Golongan Karya) 102 kursi dengan 23.208.654 suara (15,29%), 3. Gerindra (Partai Gerakan Indonesia Raya) 86 kursi dengan 20.071.708 suara (13,22%)
Selanjutnya berturut-turut urutan dan komposisinya sbb: 4. PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) 68 kursi dengan 16.115.655 suara (10,62%), 5. NasDem (Partai Nasional Demokrat) 69 kursi dengan 14.660.516 suara (9,66%), 6. PKS (Partai Keadilan Sejahtera) 53 kursi dengan 12.781.353 suara (8,42%), 7. PAN (Partai Amanat Nasional) 48 kursi dengan 10.984.003 suara (7,24%), dan terakhir 8. Demokrat (Partai Demokrat) 44 kursi dengan 11.283.160 suara (7,43%). Sehingga jumlah kursi DPR-RI yang dihasilkan melalui Pemilu 2024 lalu adalah 580 (lima ratus delapan puluh) kursi.
Bila mau dicermati, jumlah total kursi 7 (tujuh) Partai Pendukung Pemerintah di DPR-RI (KIM Plus) mendapat total 470 (empat ratus tujuh puluh) kursi sbb: 1. Golkar 102 kursi, 2. Gerindra 86 kursi, 3. PKB 68 kursi, 4. NasDem 69 kursi, 5. PKS 53 kursi, 6. PAN 48 kursi, 7. Demokrat 44 kursi, sedangkan jumlah kursi DPR-RI yang bukan Partai Pendukung Pemerintah yakni PDIP hanya 110 (seratus sepuluh) kursi. Secara teori ini jelas bukan merupakan komposisi yang seimbang, karena 470 dibanding 110 hanya 23,4% (dua puluh tiga koma empat persen) alias sekitar 1/5 (seperlima-nya) saja
Selanjutnya proses Pemakzulan tersebut bisa terjadi jika minimal diajukan oleh 25 (dua puluh lima) anggota DPR-RI yang terdiri atas sedikitnya 2 (dua) fraksi. Baru kemudian dibahas dalam Rapat Paripurna Tahap pertama yang minimal dihadiri 2/3 DPR-RI = 387 Anggota. Misalnya Gerindra 86 + PDIP 110 + PKB 68 + Demokrat 44 + PKS 53 + PAN 48 + = 409 kursi DPR-RI maka “Sah” (Diasumsukan Golkar 102 + Nasdem 69 = 171 menolak). Selanjutnya berlanjut ke Tahap Ke-2 bila disetujui oleh 2/3 dari anggota DPR-RI yang hadir, artinya minimal disetujui oleh 268 anggota DPR-RI.
Bila hal diatas dipenuhi maka baru bisa dibawa untuk dibahas di MK (Mahkamah Konstitusi) yang akan memeriksa dan memutusnya dengan menilai benar atau tidaknya dugaan pelanggaran oleh Presiden/Wapres sesuai dengan Pasal 7B ayat (2-3). Putusan MK ini harus diambil dalam waktu maksimal 90 hari sejak menerima permintaan DPR-RI diatas. Hasilnya jika MK menyatakan Wapres bersalah, proses berlanjut ke MPR-RI, namun jika tidak terbukti, maka proses pemakzulan dinyatakan gugur. Bila diasumsikan terbukti maka baru bisa dibawa ke MPR-RI, dimana berisi 580 Anggota DPR-RI + 136 Anggota DPD-RI = 716 anggota MPR-RI. Tahapan selanjutnya mirip dengan saat di DPR-RI, dimana ada Tahap pertama yang minimal dihadiri 2/3 Anggota MPR = 479 anggota MPR. Selanjutnya harus disetujui oleh 2/3 minimal yang hadir atau minimal 320 anggota MPR.
Jadi sebenarnya bila dilihat proses diatas tampak cukup rumit dan berliku, bahkan bisa dikatakan secara teori hampir tidak mungkin. Namun jangan lupa bahwa bila memang sudah tiba waktunya (“Wis wayah-e” alias “Naga dinane wis tiba” kata masyarakat Jawa) maka keniscayaan Suara Rakyat itu akan terjadi. Ingat saja tahun 1998 silam, bagaimana kuatnya Rezim Soeharto yang sudah bertahan 32 tahun akhirnya juga tumbang ditangan rakyat. Kita juga ingat ada kalimat “Vox populi, vox dei”, istilah Latin yang bermakna “Suara Rakyat, Suara Tuhan” dimana suara rakyat harus dihargai sebagai penyampai kehendak Ilahi bilamana mayoritas rakyat menginginkan pemakzulan Wapres ini.
Kesimpulannya, jika melihat 4 (empat) tindakan pelanggaran Hukum, Norma dan Etika dalam Surat FPPTNI ke DPR-RI itu, bahkan bila ditambah tercyduknya akun IG resminya @gibran_rakabuning mem-follow 3 (tiga) akun Judi-online (bahkan sudah dikonfirmasi oleh Setwapres meski dengan alasan akun tersebut berubah nama), maka seharusnya prinsip “Noblesse Oblige” (dari bahasa Perancis) yang artinya “kewajiban yang mulia” untuk seorang Wapres, wajib dipatuhi, dimana mengharuskannya tidak pernah salah atau cacat dalam Norma Agama, Adat, Sosial dan Budaya. Oleh karena itu proses Pemakzulan Wapres ini biarlah terus bergulir, InshaaAllah Gusti Allah SWT tidak sare untuk #MakzulkanFufufafa …
)* Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes – Pemerhati Telematika, Multimedia, AI dan OCB Independen – Jakarta, Kamis 12 Juni 2025