BILANG PILPRES SATU PAKET, JOKOWI KIRIM PESAN RAHASIA KE PRABOWO

Oleh : Edy Mulyadi, Wartawan Senior
Wacana pemakzulan Wapres Gibran terus menggelinding. Jadi bola salju. Menganggapi soal ini, bekas Presiden Jokowi bilang, Pilpres adalah satu paket. Katanya, semua pihak harus menghormati sistem ketatanegaraan.
Pernyataan yang normatif. Bijak, sepertinya. Tapi pernyataan itu bukan cuma buat publik. Jokowi sejatinya tengah mengirim pesan rahasia ke Prabowo. Pesan (berbau) ancaman!
Sebagai ayah Gibran, Jokowi tentu gelisah. Sebab Gibran bukan sekadar wakil presiden. Gibran adalah simbol politik dinasti yang telah dia perjuangkan dengan segala cara. Cawe-cawe vulgar. Menelikung konstitusi, juga intervensi Mahkamah Konstitusi. Plus gelontoran bansos jumbo jelang pemilu.
Kini, ketika suara-suara pemakzulan terhadap Gibran kian nyaring, Jokowi seperti mengingatkan: “Hati-hati, presiden dan wapres itu satu paket.” Sebuah isyarat kepada Prabowo agar tak membiarkan, apalagi terlibat, proses politik itu bergulir.
Haruskah satu paket?
Pertanyaannya, benarkah sistem politik kita mewajibkan pemakzulan Presiden Wapres dalam satu paket? Mari kita rujuk konstitusi. Pasal 7A UUD 1945 jelas menyebut: “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR…”
Artinya, pemakzulan bisa terhadap presiden. Bisa terhadap wakil presiden saja. Bisa juga keduanya sekaligus. Tapi itu artinya tidak harus satu paket. Frasa “dan/atau” adalah formula hukum yang membuka kemungkinan terpisahnya subjek.
Jadi, jika yang dianggap bermasalah adalah Gibran, maka proses politik bisa diarahkan ke sana. Klaim Jokowi soal “paket” adalah tafsir politis. Tafsir kepentingan politik (dan hukum) Jokowi. Bukan tafsir konstitusional.
Namun di balik itu, pernyataan Jokowi menyiratkan kekhawatiran yang lebih dalam. Dia seperti mengingatkan Prabowo: “Kau jadi presiden karena bantuanku. Kalau anakku diganggu, kau pun bisa kena imbasnya.” Inilah logika transaksional politik yang mengingkari prinsip kedaulatan rakyat dan supremasi hukum.
Bahayanya politik balas budi
Di sinilah bahayanya politik dinasti. Ketika kekuasaan dikelola berdasarkan relasi darah dan utang budi, maka semua alat negara bisa disulap jadi tameng pribadi. Bahkan konstitusi pun dibaca sepotong-potong, sesuai selera.
Kini bola ada di tangan Prabowo. Apakah dia akan tunduk pada tekanan rahasia itu? Atau justru membuktikan dirinya sebagai presiden yang mandiri. Yang berpihak kepada keadilan dan aspirasi rakyat?
Bagi umat Islam, ini menjadi pelajaran penting. Sistem demokrasi telah memberi ruang bagi manipulasi, kompromi, dan ketidakadilan terstruktur. Kita butuh sistem yang adil, jujur, dan menempatkan kekuasaan sebagai amanah. Bukan warisan. Dan itu hanya ada dalam sistem Islam yang kaffah.
Dalam sistem Islam, pemimpin bukan hasil lobi dan dukungan serta dikte dari oligarki. Kekuasaan tidak diraih dengan cawe-cawe yang melahirkan utang budi. Islam menegaskan, pemimpin dipilih karena takwa, kapasitas, dan amanah. Tidak ada politik dinasti. Tidak ada pengkhianatan konstitusi.
Keadilan ditegakkan bukan atas dasar kepentingan kelompok, tapi berdasarkan hukum Allah yang sempurna. Syariat menjadi tolok ukur. Bukan suara terbanyak yang bisa dibeli. Inilah solusi hakiki yang harus kita perjuangkan bersama.
Jakarta, 9 Juni 2025