Front Persaudaraan Islam, GNPF Ulama, Dan Persada 212 : Kerusakan Di Raja Ampat, Papua Barat Daya Akibat Salah Sistem Pengelolaan

Jakarta, 13 Juni 2025
Kerusakan masif terhadap ekosistem yang terjadi di Raja Ampat, Papua Barat Daya akibat aktivitas pertambangan mendapatkan perhatian dari berbagai pihak, Salahsatunya dari Tripilar Umat Islam ( Front Persaudaraan Islam, GNPF Ulama, dan Persada 212 ).
Front Persaudaraan Islam, GNPF Ulama, dan Persada 212 menilai akar
permasalahan di Kawasan yang dijuluki “Crown Jewel of Marine Biodiversity” tersebut dikarenakan kesalahan mendasar pada cara pandang dan sistem pengelolaan sumber daya minerba di negera ini, hal tersebut disampaikan melalui Maklumat sebagaimana yang diterima redaksi persuasi-news.com pada hari ini Jum’at (13/6/2025).
Cara pandang atau paradigma
penyelenggara negara dan bangsa Indonesia pada umumnya terhadap sumber daya alam ( SDA ) termasuk minerba,adalah semata mata hanya sebagai komoditas perdagangan ekonomi yang akibatnya akan
melahirkan sistem yang eksploitatif dan dikelola secara kapitalistik. Dengan cara pandang SDA adalah komoditas perdagangan ekonomi yang dikelola secara kapitalistik maka eksploitasi sumber daya alam termasuk minerba (nikel) di kawasan Raja Ampat, adalah sebuah keniscayaan yang akan menimbulkan dampak negatif terhadap seluruh aspek kehidupan termasuk kerusakan lingkungan. segala bentuk aktivitas pertambangan destruktif di Raja Ampat telah menyebabkan kerusakan irreversible terhadap 75% spesies karang dunia dan habitat dari 1.511 spesies ikan. Kegiatan tambang ini telah mencemari perairan yang menjadi sumber kehidupan 49.048 jiwa masyarakat lokal dan mengancam mata pencaharian nelayan tradisional yang telah turun-temurun menjaga kelestarian laut, jelas Tripilar Umat Islam.
Kami menegaskan bahwa tidak ada justifikasi ekonomi yang dapat
membenarkan penghancuran warisan alam yang telah Allah amanahkan kepada bangsa Indonesia.
Mereka menuntut pembatalan segera seluruh izin usaha pertambangan di Raja Ampat dan mendesak pemerintah untuk menetapkan moratorium permanen terhadap aktivitas ekstraktif di kawasan Marine Protected Area,selain itu mereka juga menuntut pertanggungjawaban hukum penuh dari PT. Tambang Mineral Indonetama dan korporasi terkait atas kerusakan lingkungan yang telah terjadi, termasuk kewajiban pemulihan ekosistem dan kompensasi kepada masyarakat adat yang kehidupannya terdampak. Pemerintah harus membuktikan komitmennya pada Sustainable Development Goals dengan menghentikan politik dagang izin yang merugikan rakyat.
Dalam surat pernyataan sikap yang ditandatangani oleh Habib Muhammad Alatthas (Ketua Umum FPI), Ust.Yusuf M Martak (Ketua Umum GNPF-U), serta KH. Ahmad Shobri Lubis (Ketua Umum Persada 212) itu juga meminta pemerintah untuk segera mengubah secara total sistem pengelolaan sumber daya alam Indonesia agar kembali berdasarkan ketentuan pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945.
Sistem pengelolaan SDA yang merupakan karunia Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk keseluruhan bangsa dan rakyat Indonesia, selama ini telah dirampok dan dieksploitasi serta dinikmati hanya oleh segelintir orang yang kita kenal dengan oligarkhi ekonomi. Manfaat atas berlimpahnya SDA di bumi Allah yang bernama Indonesia, justru dinikmati oleh bangsa asing (Republik Rakyat China, Amerika Serikat dan negara industri lainnya) yang bekerja sama dengan para komprador pemegang kebijakan di Republik Indonesia beserta oligart. Ketiga elemen inilah yang selama berpuluh tahun telah mengeksploitasi SDA Indonesia, sehingga berakibat kemiskinan struktural berikut kerusakan lingkungan. Aparat Pemerintah yang menjadi komprador telah menjadi kaki tangan korporasi oligarki yang menjual seluruh komoditas SDA ke negara asing, yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan sistematis terhadap ekosistem strategis nasional. Kebijakan yang mengatasnamakan investasi sambil mengabaikan kerugian ekologis bernilai triliunan rupiah serta kemiskinan struktural ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanah konstitusi untuk mengelola kekayaan alam bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Sikap permisif ini juga melanggar hak-hak masyarakat adat Papua
yang dijamin dalam UUD 1945 dan berbagai konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia,ungkap mereka.
Oleh karenanya, kami mendesak agar seluruh kegiatan pengelolaan SDA Indonesia
dikembalikan ke tangan Negara dan digunakan untuk untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat Indonesia berdasar pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) UUD 1945.
Selain itu, Tripilar Umat Islam Juga Menyerukan Jihad Lingkungan
kepada seluruh umat Islam Indonesia untuk bersatu dalam gerakan penyelamatan Raja Ampat sebagai implementasi dari firman Allah dalam QS. Al-A’raf ayat 56: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” Kami mengajak tokoh agama, ulama, santri, dan seluruh elemen masyarakat untuk melakukan tekanan politik dan hukum yang masif melalui jalur konstitusional, termasuk
judicial review terhadap regulasi yang memungkinkan kerusakan ini terjadi. Menjaga kelestarian alam adalah bagian integral dari ibadah dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Front Persaudaraan Islam, GNPF Ulama, dan Persada 212 mendesak KPK, Komnas HAM, dan aparat penegak hukum investigasi menyeluruh terhadap dugaan korupsi dalam pemberian izin tambang, pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat, serta kejahatan lingkungan yang berpotensi dikategorikan sebagai ecocide.
Kami juga menuntut DPR RI melalui Komisi IV dan Komisi VII untuk menggunakan hak interpelasi guna meminta pertanggungjawaban pemerintah atas kelalaian ini. Pemerintah harus segera mengalihkan paradigma pembangunan dari eksploitatif menuju regeneratif dengan melibatkan kearifan lokal dan partisipasi aktif tokoh agama dalam setiap pengambilan kebijakan yang berdampak pada lingkungan, pinta mereka.
Demikian pernyataan ini kami sampaikan sebagai bentuk jihad konstitusional dan tanggung jawab moral kepada Allah SWT, bangsa Indonesia, dan generasi mendatang. Kami berharap pemerintah segera mengambil langkah konkret untuk menghentikan bencana ekologis ini sebelum terlambat. Wallahu a’lam bishawab, tutup surat penyataan tersebut.