OpiniPolitik

JOKOWI PELANGGAR HAM BERAT

Oleh : M Rizal Fadillah

Di samping perampok kelas dunia dalam makna koruptor sebagaimana dilansir Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) yang berkedudukan di Maryland Amerika Serikat ternyata Jokowi juga dapat dikualifikasikan sebagai pelanggar HAM berat, meski untuk ini belum muncul pernyataan atau publikasi terbuka dunia.

Aktual, pelaporan atau surat menyurat Forum Diaspora Indonesia (FDI) yang diketuai Chris Komari yang berkedudukan di California Amerika Serikat telah dilakukan dengan berbagai lembaga HAM seperti Human Rights Watch, Amnesty International, Office High Commissioner of Human Rights, juga US State Departement, President Donald J Trump, Congressman Mark DeSoulnier, Senator Alex Padilla, dan lainnya.

Laporan tersebut berkaitan pelanggaran HAM Jokowi atas kriminalisasi 12 aktivis di Polda Metro Jaya dalam perjuangan aktivis membongkar dugaan skripsi dan ijazah palsu Joko Widodo yang diduga melibatkan banyak pihak termasuk KPU dan KPUD serta pejabat tinggi di lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Jokowi memang pelanggar HAM berat khususnya sejak mulai maju dalam kompetisi jabatan keduanya. Kasus yang menonjol adalah :

Pertama, tewasnya 800 lebih petugas KPPS pada Pilpres 2019. Jokowi terlibat sekurangnya untuk delik “crime by omission”. Tewas ratusan manusia tidak diusut serius.  Tak tertutup kemungkinan ini akibat dari kebijakan Jokowi sendiri atau “crime by commission”. Ada unsur kesengajaan disana (opzet als zekerheids bewustzijn).

Kedua, terbunuhnya 8 orang dan 600 demonstran luka-luka yang memprotes hasil Pilpres di depan Bawaslu tanggal 21-22 Mei 2019 termasuk anak kecil yang teraniaya oleh aparat Brimob. Presiden Jokowi tidak memberi atensi memadai atas tragedi kemenangan palsu dirinya tersebut.

Ketiga, penganiayaan dan pembunuhan 6 pengawal Habib Rizieq oleh aparat sebagai akibat dari operasi intelijen. Melibatkan BIN, Polda Metro Jaya, Dam V Jaya, dan Satgassus Sambo. Peristiwa 7 Desember 2020 yang dikenal dengan pembantaian KM 50 ini diduga terkait Jokowi dan 3 petinggi Polri yaitu Tito Karnavian, Idham Azis, dan Listyo Sigit.

Keempat, tewas 135 penonton dan 583 orang cedera di Stadion Kanjuruhan Malang Jawa Timur. Kelalaian petugas Kepolisian ini tidak berefek sanksi berat. Secara bertahap peristiwa menyedihkan tanggal 1 Oktober 2022 ini menguap. Jokowi sebagai Presiden bersikap santai atas tragedi sepakbola dengan korban ke 2 terbesar di dunia tersebut.

Sulit menafikan bahwa Jokowi adalah “the bloody hands” tangan yang berlumuran darah atau pelanggar HAM berat “gross violation of human rights” karena di bawah pemerintahannya banyak nyawa melayang. Ironinya hilangnya nyawa itu disikapi dengan dingin. Sepertinya ada nilai mistis yang melekat pada dirinya.

Beberapa tokoh meninggal secara misterius dan publik menduga ada operasi pembunuhan sistematik. Kemantian mantan Ketua KPU Husni Malik, Ustad Maher Thuwailibi, Ustadz Tengku Dzulkarnain, Dr. Rizal Ramli, dan Dr. Faisal Basri dicurigai publik.
Pada era ijazah palsu, kematian adik ipar Jokowi yaitu Hary Mulyono tahun 2018 juga dipertanyakan.

Ada kejahatan penghilangan paksa (enforced disappearance), penyiksaan (torture), maupun  eksekusi di luar pengadilan (extra judicial killing) yang semuanya merupakan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity). Jokowi sebagai tertuduh.

Dokumen pengaduan yang telah disampaikan baik kepada International Criminal Court (ICC) di Den Haag maupun Committee Against Torture (CAT) di Geneva hingga kini masih mengendap.

Bersama kampanye internasional Forum Diaspora Indonesia(FDI) untuk kasus kriminalisasi aktivis pemburu ijazah palsu Jokowi, maka pelanggaran HAM berat Jokowi selama ini dapat dan harus dihidupkan kembali.

Perjuangan menegakkan keadilan tidak boleh terhenti. Dunia sudah ikut peduli. Penjahat harus diberi sanksi. Bila perlu dihukum mati.

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Bandung, 3 Agustus 2025

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button