Kriminalisasi Pengeritik Ijazah Jokowi: Keadilan di Bawah-bayang Kekuasaan

Oleh : Edy Mulyadi ( Wartawan Senior )
Jakarta, 18 Mei 2025
Penanganan penguasa terhadap para pengeritik ijazah palsu Joko Widodo memperlihatkan rapuhnya keadilan di Indonesia. Enam tokoh kritis kini terancam kriminalisasi. Mereka adalah Roy Suryo, Rismon Sianipar, dr. Tifauzia Tyassuma, Rizal Fadillah, Kurnia Tri Royani dan Eggi Sudjana.
Publik dengan gampang melihat proses hukum ini sarat kejanggalan. Beberapa peristiwa memperkuat persepsi bahwa polisi bertindak sebagai benteng kepentingan Jokowi dan keluarga. Bukan penegak keadilan.
Pertama, kelemahan mencolok testimoni sebagai bukti otentifikasi ijazah Jokowi. Konfirmasi UGM dan kesaksian teman seangkatan Jokowi, Frono Jiwo, hanyalah pernyataan verbal. Juga subjektif. Bukan bukti ilmiah.
UGM tidak melakukan uji forensik terhadap dokumen fisik. Bahkan ketika Roy, Tifa, dan Rismon datang ke UGM pada 15 April 2015, tidak sepotong pun dokumen yang ditunjukkan. Skripsi Jokowi baru ditunjukkan menjelang pertemuan usai, setelah didesak hebat.
Semua testimoni tersebut, seperti koar-koar lapak tukang obat. Tidak memenuhi standar otentifikasi dokumen. Dengan reputasi Jokowi selama 10 tahun berkuasa yang Mahchiavelis, tekanan dan intimidasi bukan mustahil terjadi pada mereka.
Kepada awak media usai pertemuan Roy dan dokter Tifa menyebut pertemuan di UGM berlangsung panas. Mereka debat adu argumen dengan eskalasi meninggi. “Kami hampir saja walk out,” kata Roy.
Sementara Frono, yang dianggap dekat dengan Jokowi, rentan bias. Ijazah Jokowi konon diserahkan oleh adik iparnya, Wahyudi Andrianto, ke Bareskrim Polri pada 9 Mei 2025. Tapi, itu juga sangat janggal. Tidak ada prosedur penyitaan resmi. Tentu saja ini kian meragukan.
Kedua, otentifikasi ijazah menuntut uji forensik yang ilmiah dan kredibel. Analisis kertas, tinta, dan cap harus dilakukan dengan alat canggih oleh laboratorium independen. Roy Suryo mengusulkan uji forensik dilakukan di Singapura. Bukan Labfor Polri.
Publik paham reputasi Polri. Institusi ini teramat sering tercoreng oleh abuse of power dan bias terhadap Jokowi. Sebutan Kapolri Listyo Sigit Prabowo sebagai bagian dari Geng Solo, membuat Labfor Polri tidak bisa dipercaya.
Publik meragukan proses dan hasil uji yang tidak transparan. Jika ini terjadi, hanya akan memperkuat narasi Jokowi tanpa menghilangkan keraguan. Uji forensik internasional dengan pengawasan akademisi netral adalah keharusan.
Ketiga, proses hukum ini tidak adil. Polisi, di bawah pengaruh “Geng Solo” dan Kapolri Listyo Sigit Prabowo, diduga bisa saja memanipulasi bukti untuk melindungi Jokowi. Kejanggalan penyerahan ijazah di Polda Metro Jaya, diabaikan. Secara logika, bagaimana mungkin Jokowi membawa empat ijazah asli (SD, SMP, SMA dan UGM) hanya dalam satu map kertas berwarna kuning. Cara membawanya dengan beberapa kali dilihat pula.
Tekanan relawan Alap-Alap Jokowi dan laporan Peradi Bersatu memperburuk kriminalisasi. Pengadilan, yang rentan terhadap intervensi politik, berisiko mengesampingkan argumen terlapor demi vonis bersalah.
Presiden Prabowo tidak boleh membiarkan ini terjadi. Dia harus menghentikan kriminalisasi terhadap para pengritik ijazah Jokowi. Caranya bisa mulai dengan melakukan uji forensik independen di laboratorium internasional.
Publik berhak atas kebenaran. Bukan narasi kekuasaan. Keadilan sejati hanya lahir dari transparansi dan netralitas. Bukan represi terhadap suara kritis. Dan Prabowo bisa mewujudkan itu!.