NasionalOpini

Mengendus Aroma Klan Jokowi dalam Penguasaan Empat Pulau Aceh

Oleh: Yulianto Widirahardjo, SE, M.Si

JAKARTA – Di tengah riuh rendah politik pasca-pemilu, sebuah keputusan senyap dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang mengalihkan status empat pulau dari Provinsi Aceh ke Provinsi Sumatera Utara telah memantik api curiga di kalangan masyarakat. Keputusan yang terkesan tiba-tiba ini bukan sekadar persoalan administratif, melainkan memunculkan aroma tak sedap dugaan adanya kepentingan terselubung dari lingkaran kekuasaan, atau yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai “Klan Jokowi”.

Kecurigaan publik ini menguat seiring fakta bahwa operasionalisasi keempat pulau tersebut kini berada di bawah wewenang Sumatera Utara, provinsi yang dipimpin oleh Bobby Nasution, menantu dari Presiden Joko Widodo. Empat pulau yang menjadi jantung sengketa ini—Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang—selama ini secara de facto dan historis dianggap sebagai bagian dari Kabupaten Aceh Singkil, Aceh.

Namun, melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2022 yang diperbarui dengan peraturan lebih baru, Kemendagri di bawah komando Tito Karnavian secara resmi menyerahkan pulau-pulau tersebut ke dalam administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Dalih yang digunakan adalah data verifikasi tim pusat pada tahun 2017 yang menyimpulkan pulau-pulau itu masuk wilayah Sumut, sebuah argumen yang mentah-mentah ditolak oleh Pemerintah dan masyarakat Aceh yang berpegang pada peta topografi tahun 1978 dan bukti sejarah lainnya.

Langkah ini sontak menuai protes keras. Banyak pihak menuding keputusan ini adalah bentuk “balas jasa” politik dari Tito Karnavian kepada Presiden Jokowi. “Ini bisa jadi bentuk simbiosis mutualisme. Tito jelas bagian dari lingkaran kekuasaan Jokowi,” ujar seorang analis politik, mencerminkan sentimen yang berkembang di ruang publik.

Harta Karun Tersembunyi dan Analogi Raja Ampat

Pertanyaan besar yang menggantung adalah: mengapa pulau-pulau kecil yang tampak tak berpenghuni ini menjadi begitu penting hingga memicu kebijakan kontroversial? Jawabannya, menurut kecurigaan yang beredar luas, terletak pada potensi “harta karun” yang terkandung di dalamnya.
Patut dicurigai, keluarga penguasa sudah mengetahui atau setidaknya memiliki informasi intelijen mengenai kandungan sumber daya alam di empat pulau tersebut dan perairan di sekitarnya.

Sebagaimana diungkapkan oleh berbagai sumber, kawasan di sekitar gugusan pulau itu memiliki potensi perikanan yang melimpah, keindahan alam bawah laut yang bisa dikembangkan menjadi destinasi wisata bahari premium, bahkan indikasi adanya cadangan minyak dan gas. Analogi dengan kawasan Raja Ampat di Papua Barat pun mengemuka. Raja Ampat, yang mulanya hanya gugusan pulau karst, kini menjadi surga pariwisata dunia dengan nilai ekonomi fantastis setelah dieksplorasi dan dikelola secara masif. Bukan tidak mungkin, skenario serupa hendak direplikasi di perbatasan Aceh dan Sumut.
“Tidak mungkin Sumut melihat keempat pulau itu hanya sebatas dataran. Probabilitasnya tentu ada potensi-potensi alam di sana,” ujar Syafriadi, Bupati Aceh Singkil, dalam sebuah kesempatan. Ia bahkan secara gamblang menyebut adanya potensi “gas dan minyak” di dalam perut bumi di bawah pulau-pulau tersebut.

Peran Bobby Nasution dan Manuver Politik

Di sinilah peran Bobby Nasution sebagai Gubernur Sumatera Utara menjadi sorotan utama. Dengan statusnya sebagai menantu presiden, posisinya dinilai sangat strategis untuk mengamankan dan mengoperasionalkan aset baru ini. Meskipun Bobby Nasution sempat menawarkan opsi pengelolaan bersama kepada pihak Aceh—sebuah tawaran yang dinilai sebagai basa-basi politik dan ditolak oleh tokoh-tokoh Aceh—kecurigaan bahwa operasionalisasi pulau ini akan diarahkan untuk kepentingan kelompok tertentu tetap tidak surut.

Publik khawatir, di bawah kendali administrasi Sumatera Utara yang dipimpin Bobby Nasution, izin-izin pengelolaan sumber daya alam, baik untuk pariwisata maupun eksplorasi tambang, akan lebih mudah diterbitkan bagi pihak-pihak yang memiliki kedekatan dengan lingkaran kekuasaan. Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar, mengingat rekam jejak kebijakan yang kerap kali menguntungkan oligarki di negeri ini.

Pemerintah Aceh dan para tokohnya pun tak tinggal diam. Penolakan keras disuarakan, bahkan Gubernur Aceh dikabarkan sempat walk out dari forum pembahasan sebagai bentuk protes atas proses yang dianggap tidak adil dan melecehkan marwah Aceh. Bagi mereka, ini bukan sekadar kehilangan empat pulau, melainkan sebuah preseden buruk tentang bagaimana pemerintah pusat dapat secara sepihak mengubah batas wilayah tanpa mempertimbangkan aspek historis, kultural, dan keadilan bagi masyarakat daerah.

Kini, bola panas berada di tangan pemerintah pusat dan juga nurani para pengambil kebijakan. Apakah keputusan ini murni untuk penegakan administrasi, ataukah ini adalah babak baru dari upaya penguasaan sumber daya alam oleh segelintir elite yang berlindung di balik jubah kekuasaan? Masyarakat, terutama rakyat Aceh, menunggu jawaban yang jujur dan transparan, sambil terus “mengendus” ke mana aroma kepentingan dari pengalihan empat pulau ini akan bermuara.

*) penulis adalah aktivis dan pengamat perilaku kekuasaan.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button