NasionalOpini

MIMPI PEMAKZULAN SATU PAKET:MENGHITUNG HARI PEMECATAN GIBRAN!

Oleh : Marwan Batubara ( Petisi 100 )

Jakarta, 12 Juni 2025

Dalam beberapa hari terkahir banyak media cetak/digital memuat pernyataan Jokowi tentang pemakzulan satu paket. Maksudnya, bahwa jika ada upaya lembaga-lembaga terkait, terutama DPR, DPD dan MPR, serta partai-partai parlemen, ingin memakzulkan Gibran, maka hal ini hanya terjadi jika Prabowo pun ikut dimakzulkan. Menurut Jokowi, Prabowo-Gibran harus dimakzulkan secara bersama. Jika tidak, maka pemakzulan Gibran tidak dapat dilakukan.

Kata Jokowi: “Pemilihan Presiden kemarin kan satu paket, bukan sendiri-sendiri. Di Filipina kan sendiri-sendiri. Di kita ini satu paket” (6/6/2025). Tiga hari kemudian, Jokowi kembali tampil membela Gibran dari ancaman pemecatan oleh DPR/MPR: “Negara ini kan negara besar yang memiliki sistem ketatanegaraan. Ya diikuti saja proses sesuai sistem ketatanegaraan kita” (9/6/2025).

Kita tidak paham ketentuan konstitusi dan sistem ketatanegaraan mana yang dirujuk Jokowi, atau siapa pembisiknya, sehingga Jokowi nekad membuat pernyataan manipulatif dan konyol tersebut. Tampaknya Jokowi menganggap mayoritas rakyat Indonesia bodoh, bisa ditipu atau digiring mengikuti kemauan dan agendanya. Media pun tampaknya “memberi ruang” pada Jokowi, padahal yang disampaikan hal-hal yang tendensius dan menyesatkan.

Namun bisa saja ada yang berspekulasi, pernyataan dibuat karena Jokowi sedang panik, desparate, mengirim SOS minta bantuan, peringatan, atau ancaman kepada Presiden untuk tidak mengganggu Gibran. Apa pun itu, pada prinsipnya konstitusi kita tidak mengenal sistem satu paket. Siapa yang bermasalah dan bersalah melanggar hukum (sesuai kriteria konstitusi), maka dialah yang harus bertanggungjawab.

Menurut Pasal-pasal 7A, 7B, dan 24C ayat (2) UUD 1945, atas dasar delik atau pelanggaran yang dilakukan, pejabat yang dapat di-impeach adalah: 1) Presiden; 2) Wakil Presiden, dan; 3) Presiden dan Wakil Presiden. Jika Gibran bersalah dan memenuhi syarat konstitusional dimakzulkan, maka hanya Gibran lah yang harus dipecat. Jika hanya Gibran yang melanggar dan layak pecat, mengapa pula Prabowo dibawa-bawa Jokowi?

Gibran dinilai banyak kalangan memang pantas dimakzulkan. Dalam hal ini kejahatan sistemik rezim Jokowi dalam Putusan MK No.90/2024 guna meloloskan pencalonan Gibran, bisa saja digunakan untuk maksud tersebut. Namun karena MKMK telah membuat Keputusan No.5/MKMK/L/10/2023 (7/11/2023), KPU telah menetapkan calon presiden-wakil presiden dan Pilpres 2024 telah terlaksana, maka delik terkait Putusan MK No.90 ini cukup rumit, melibatkan banyak lembaga, dan mungkin “tidak menarik” bagi sejumlah pihak/partai. Sehingga meskipun level kejahatannya cukup tinggi, delik Putusan No.90 ini tidak perlu diexercise.

Banyak delik/alasan yang terungkap tentang Gibran yang tidak diketahui publik, termasuk juga oleh Prabowo, saat pencalonan capres/cawapras di KPU. Delik-delik ini muncul dan terungkap setelah Gibran dilantik. Maka alasan-alasan inilah yang harus diexercise dan diproses DPR (dapat didahului Angket DPR) guna memakzulkan Gibran. Diyakini, karena pelanggaran ini terjadi atau terungkap setelah proses Pilpres 2024, maka pelanggaran ini bebas dari tanggungjawab Prabowo.

Pemakzulan atau impeachment adalah sarana yang membuka kemungkinan dilakukannya pemberhentian seorang presiden atau wakil presiden dari jabatan sebelum masa jabatannya berakhir. Menurut Pasal 7A UUD 1945, ada 6 alasan mengapa Presiden atan Waprs RI layak dmakzulkan, yakni: 1) pengkhianatan terhadap negara; 2) korupsi; 3) penyuapan; 4) tindak pidana berat lainnya; 5) perbuatan tercela; 6) tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden.

Berdasarkan kajian dan pendapat sejumlah pakar, termasuk Roy Suryo, Refly Harun dan Tifauzia, serta sebaran informasi di media sosial, Gibran dianggap telah melakukan atau terlibat sejumlah perbuatan tercela. Dugaan perbuatan tercela ini diketahui setelah berlangsungnya Pilpres 2024. Dugaan perbuatan tercela dimaksud adalah: 1) kecanduan narkoba; 2) keabsahan ijazah diragukan; 3) ujaran kebecian atau hate speech melalui akun Fufufafa, terutama kepada Prabowo dan keluarga, 4) terlibat pornografi, dan; 5) dikhawatirkan mengidap kelainan jiwa.

Prospek Pemakzulan

Sebenarnya isu pemakzulan Gibran telah muncul sejak Januari-Pebruari 2025, terutama dengan munculnya isu Fufufafa. Namun tuntutan pemakzulan Gibran semakin kuat dan bergema, setelah dibacakannya delapan tuntutan Forum Purnawirawan Perajurit (FPP) TNI, 16 April 2025 di Jakarta. Bahkan, FPP TNI pun telah bersurat kepada DPR, DPD dan MPR untuk RDPU dan usul pemakzulan Gibran. Delapan tuntutan FPP: 1) Kembali ke UUD 1945 Asli, 2) Hentikan IKN, 3) Stop sejumlah PSN, 4) Tolak TKA China, 5) Tertibkan pertambangan, 6) Copot menteri warisan Jokowi terduga korupsi, 7) Kembalikan Polri ke Kemendagri dan 8) Makzulkan Gibran.

Butir ke-8 tuntutan FPP TNI justru mendapat dukungan publik yang meluas, terutama karena mempertimbangkan fakta dan kondisi objektif Gibran yang dinilai tidak layak, atau tidak mampu, memimpin negara besar seperti NKRI. Penyikapan ini juga terkait dengan dugaan perbuatan tercela Gibran, terutama jika kita merujuk prinsip-prinsip moral, agama, Pancasila dan UUD. Ibarat bola salju, dukungan pada FPP TNI dan pemakzulan Gibran terus membesar, datang dari berbagai kalangan, tokoh, ormas, kampus, mahasiswa dan daerah.

Disadari proses pemakzulan mencakup dua aspek penting yakni hukum dan politik. Proses ini melibatkan empat lembaga utama yakni DPR, DPD, MK dan MPR. Urutan proses dimulai dari DPR sebagai langkah awal yang bersifat politis, berlanjut di MK sebagai langkah hukum untuk menilai layak tidaknya pemakzulan dan langkah akhir (setelah MK merekomendasikan kelayakan pemekazulan ke DPR) yang bersifat politis di MPR. Seperti disinggung di atas, dari sisi hukum, sepanjang hakim-hakim MK bersikap amanah, maka pemakzulan Gibran sangat feasible. Maka, hal yang sangat menentukan adalah sikap politik DPR dan partai-partai.

Selama Jokowi berkuasa, cukup banyak kalangan menuntut pemakzulan Jokowi. Petisi 100 pertama kali membacakan tuntutan tersebut di Gedung MPR pada Juli 2023. Selama lebih dari 2 tahun Petisi 100 terus bersuara, termasuk memohon audiensi ke sejumlah partai di DPR. Namun, tidak ada satu partai pun menanggapi. Mengapa demikian? Sebab, cengkeraman dan dominasi politik dan oligarki Jokowi sangat kuat, termasuk menggunakan politik sprindik atau sandera-menyandera. Jangankan berharap pada langkah politik di DPR. Hanya menerima kunjungan atau RDPU saja, tidak satu pun fraksi di DPR berkenan.

Jokowi memang sudah lolos upaya pemakzulan. Namun, sekarang pemerintahan sudah berganti. Maka sebagai negara hukum, mengutamakan tegaknya hukum dan keadilan, sudah selayaknya penegakan hukum dan konstitusi tidak diamputasi sikap dan langkah-langkah politik otoriter dan dominasi oligarki. Sudah seharusnya kekuasaan oligarki warisan Jokowi diakhiri, yang saat ini coba bertahan melalui tangan Wapres Gibran dan sejumlah menteri yang dipaksakan Jokowi kepada Prabowo pada “Surat Perintah” Solo, 13 Oktober 2024. Jokowi Tiga Periode sebenarnya sedang berlangsung. Lalu dimana dan akan kemana Prabowo membawa NKRI dan harkat martabat bangsa dan nasib rakyat?

Reminder Pada Prabowo dan Pimpinan Partai

Maka, muara dari butir ke-8 tuntutan FPP TNI, pemakzulan Gibran, sangat tergantung kepada Presiden Prabowo dan sikap para pimpinan partai. Untuk itu, agar mampu dan berani bersikap objektif, amanah, pro-konstitusi, pro-hukum, pro-negara dan pro-rakyat, kami dari Petisi 100 perlu mengingatkan dan menggugah sikap Prabowo dan Para Pimpinan partai atas sejumlah fakta dan keprihatinan berikut ini.

Pertama, rakyat dari berbagai kalangan dan daerah dinilai akan terus melakukan konsolidasi, mendukung tuntutan FPP TNI dan menggalang tuntunan pemkazulan Gibran. Populasinya akan semakin besar dan massif. Dalam hal ini, diyakini mereka akan tetap mendukung Prabowo dan tidak terpengaruh ucapan satu paket Jokowi.

Kedua, sepanjang tidak bersikap tegas terhadap intervensi Jokowi dan Gibran, Prabowo dinilai tidak mampu menjalankan fungsi sebagai panglima dan pemimpin tertinggi negara dan pemerintahan secara optimal sebagaimana mestinya. Dalam hal ini, dukungan terhadap Prabowo bisa saja berkurang atau dapat mengarah pada pemakzulan satu paket.

Ketiga, sebagai seorang Jenderal, dinilai tidak pantas jika Prabowo harus datang ke Solo dan tunduk mengikuti keinginan Jokowi memaksakan puluhan pejabat untuk menjadi menteri dan wamen Kabinet Merah Putih. Pada level tertentu rakyat, tokoh atau FPP TNI dapat memaklumi “kondisi memaksa” bagi Prabowo ini. Namun tetap saja hal yang merendahkan martabat presiden ini ada batasnya dan harus segera dikoreksi: pilih rakyat/negara atau Jokowi/Gibran.

Keempat, sejumlah agenda pemerintahan Prabowo yang dipersiapkan sebelum pelantikan dinilai telah dieliminasi Jokowi & Gank (Geng Solo). Hal yang sama terjadi pada pakar-pakar pendukung atau timses Prabowo yang sebelumnya diproyeksikan. Maka saatnya bagi Prabowo bersikap tegas melakukan koreksi, termasuk terhadap pelaku pelanggar konstitusi layak makzul.

Kelima, saat ini merupakan momentum yang tepat bagi Prabowo untuk menepis isu matahari kembar dan sekaligus membuktikan bahwa dirinyalah The Real President of NKRI. Bagi rakyat, dualisme kepemimpinan ini, terutama karena cawe-cawe, intervensi, pendiktean, dan upaya pelanggengan dinasti politik Jokowi ini sangat memalukan bangsa dan tidak dapat ditoleransi! Maka muaranya kembali pada Prabowo: pro-rakyat atau akhiri dinasti Jokowi.

Keenam, dipahami Prabowo berhutang banyak pada Jokowi atau Geng Solo, termasuk sebagai mitra utama Pilpres 2024. Namun kesetiaan pada mitra, apalagi sang mitra terus cawe-cawe, mendikte dan “mengganggu” agenda pemerintah, serta justru memperoleh “manfaat” lebih besar, tidak harus terus dibiarkan bercokol mengorbankan kepentingan negara dan rakyat.

Ketujuh, Prabowo sekarang adalah presiden seluruh rakyat yang terus dielu-elukan setelah pidato pelantikan 20 Oktober 2024, tekad memberantas korupsi, menjalankan berbagai kebijakan populis, dll. Namun, setelah “berkuasa” lebih dari enam bulan, berbagai agenda dan pernyataan yang diucapkan tampaknya hanya menjadi omon-omon, karena tak mampu dilaksanakan terutama karena diduga masih kuatnya dominasi Jokowi atau Geng Solo.

Kedelapan, salah satu alasan penting mengapa muncul tuntutan pemakzulan Gibran dari FPP TNI adalah kekhawatiran nasib bangsa ke depan jika dimpimpin Gibran, terutama jika presiden berhalangan tetap. Mereka sulit membayangkan eksistensi NKRI ke depan dan martabat bangsa ini jika dipimpin seseorang yang kapasitasnya kurang ditinjau dari berbagai aspek. Sebagai patriot dan prajurit Sapta Marga, serta diakui pula sebagai pemimpin nasionalis tulen, maka sudah sepatutnya Prabowo mencamkan dan “memberi jalan” atas sikap FPP TNI.

Kesembilan, sudah saatnya para pemimpin partai mendengar aspirasi rakyat yang mereka wakili, sekaligus keluar dari cengkeraman dan politik sprindik Jokowi. Partai-partai harus independen, bertobat, mengutamakan prinsip moral, menegakkan hukum dan keadilan, serta menjauhkan diri dari politik pragmatis transaksional, penyebab lolosnya Putusan MK No.90 dari fungsi pengawasan DPR. Dalam hal tuntutan pemakzulan Gibran, Partai-partai harus kembali pada prinsip Indonesia adalah negara hukum. Bukan politik, tetapi hukumlah yang menjadi penglima. Saatnya DPR membentuk Pansus Angket Pemakzulan Gibran.

Sejumlah kalangan menyatakan Prabowo dianggap salah satu yang berkepentingan atau berperan di balik munculnya butir ke-8 tuntutan FPP TNI. Disebutkan, Prabowo telah “meminjam tangan pihak lain” guna menyingkirkan Gibran. Karena mendapat informasi terpecaya dari “badan pekerja” FPP TNI, kami yakin keseluruhan tuntutan tersebut murni aspirasi pada anggota FPP, tanpa intervensi pihak luar, termasuk yang terhubung ke Prabowo.

Namun, terlepas dari spekulasi di atas, kami dan sejumlah anggota FPP TNI tidak merasa terganggu dituduh sebagai “tangan yang dimanfaatkan” Prabowo. Malah secara terbuka kami pernah menyatakan silakan pemerintah atau Prabowo memanfaatkan gerakan advokasi kami. Sebab yang penting adalah bagaimana Gibran bisa segera dimakzulkan, terutama karena delik-delik tak terbantahkan dan sekaligus ingin mengakhiri dinasti poltik dan cengkeraman oligarki Jokowi, yang dinilai menghalalkan cara guna meraih kekuasaan tiga periode.

Penasihat khusus presiden bidang polkam, Wiranto menyatakan Presiden Prabowo menghormati dan memahami tuntutan yang disampaikan FPP TNI (24/4/2025). Namun karena masalahnya sangat fundamental dan tidak ringan, Wiranto mengatakan Prabowo tidak bisa serta-merta menjawab. Untuk saat ini tampaknya jawaban Prabowo dianggap cukup. Namun, beberapa hari ke depan, rakyat pasti berharap hal-hal progresif, kemajuan yang mengarah terpenuhinya tuntutan, yakni tuntutan yang telah sangat baik dirumuskan FPP TNI. Minimal Prabowo tidak menghalangi upaya pemakzulan, apalagi sampai mendukung Mimpi Pemakzulan Satu Paket Jokowi. Bola salju gerakan tuntutan rakyat terus menggelinding dan membesar. Semoga hari pemakzulan Gibran itu akhirnya segera tiba.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button