Opini

Paradoks Prabowo

Oleh : Yusuf Blegur

Bekasi , 2 Agustus 2025

Prabowo pernah menulis buku Paradoks Indonesia, kini ia mengalami sendiri. Prabowo pernah membuat pernyataan Indonesia akan bubar tahun 2030, kini ia justru semakin kuat membuktikannya

Bagai makan buah simalakama, begitulah posisi politik Prabowo meski menyandang jabatan presiden sekalipun. Kepemimpinan yang lahir dari proses kebohongan dan kejahatan sistemik, membuat Prabowo terus berada dalam ambigu kebijakan pemerintahan. Satu sisi tersandera oleh konspirasi politik kekuasaan oligarki, di lain sisi harus berhadapan dengan tuntutan publik untuk menghadirkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial.

Dua pendulum kekuatan kontradiktif saling berhadap-hadapan, oligarki yang eksploitatif dan destruktif melawan representasi rakyat yang mewujud gerakan kritis dan oposite. Menghadapi realitas itu, Prabowo dalam posisi ambivalen, limbung dan lemah syahwat kekuasaan. Melawan oligarki dan ternaknya tak mungkin, karena Prabowo sendiri menjadi irisannya. Melawan rakyat apalagi, Prabowo tak berarti apa-apa tanpa rakyat.

Pidato yang emosional dan berapi-api, jargon-jargon nasionalisme dan patriotisme yang menggebu, terus berkumandang seolah-olah Prabowo masih dalam suasana kampanye pilpres 2024. Prabowo mungkin lupa, atau sengaja tak mengingatnya, Prabowo sudah diberi mandat rakyat sebagai presiden, kini saatnya Prabowo menunaikan janji kampanyenya. Tak boleh lagi ada gestur, gimik dan mimik yang beraroma pencitraan apalagi manipulatif. Saatnya menjadi nasionalis sejati dan patriotisme yang sesungguhnya.

Namun apa lacur, Prabowo kini berada dalam stagnasi opini publik sebagai presiden yang lain bicaranya, lain pula tindakannya. Prabowo seperti menepuk air didulang, terpericik muka sendiri saat rakyat teringat istilah omon-omon yang dilontarkannya pada salah satu kandidat dalam forum debat capres 2024 lalu. Prabowo akhirnya terlegitimasi sebagai pemimpin yang hebat dan mengagumkan dalam pidato di podium, dengan orasi yang heroik di atas panggung-panggung politik rakyat. Namun melempem saat mengambil kebijakan yang menentukan nasib rakyat.

Beban Janji Kampanye

Menciptakan 19 juta lapangan kerja, membangun 3 juta perumahan rakyat, memberikan makan siang gratis, membuat 300 fakultas kedokteran, menghukum para koruptor dan seabrek janji kampanye populis lainnya. Semua yang disampaikan Prabowo secara terbuka saat mengemis kekuasaan pada rakyat, menjadi pertaruhan citra diri, masa depan dan bahkan hidup mati bagi seorang Prabowo.

Janji kampanye pilpres Prabowo 2024 dan dengan jabatan presiden yang digenggamnya saat ini, hanya bisa mempertontonkan drama fiksi dalam panggung berdarah, pemimpin-pemimpin antagonis dan badut-badut politik anomali. Janji kampanye hanya bahasa retorik, begitupun pelaksanaanya hanya kebijakan semantik. Seorang Prabowo memang bukan pemimpin yang otentik dan terbukti nasionalis dan patriotismenya hanya uthopis.

Hasrat, gairah dan ambisi kekuasaan yang meledak-ledak yang berujung jabatan presiden dari Prabowo, hanya menghasilkan peningkatan drastis jumlah pengangguran, bertambahnya angka kemiskinan rakyat seiring bertambahnya kekayaan pejabat dan politisi, kebebasan dan maraknya praktek-praktek korupsi berbarengan multi pajak rakyat. Tumbuh suburnya perilaku tuna susila dan tuna etis di kalangan penyelenggara negara, menjamurnya konflik sosial sesama anak bangsa hingga rentannya persatuan dan kesatuan nasional serta paling miris satu-satunya yang mengalami penurunan tajam adalah harga diri, martabat dan kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara bangsa.

Memang belum bisa menjadi tolok ukur keberhasilan atau kegagalan Prabowo sebagai presiden mengingat usia jabatan yang belum genap setahun. Ditambah lagi dan menjadi krusial saat Prabowo tersandera oleh kekuasaan dan pengaruh Jokowi yang berlatar kekuatan oligarki. Anasir kekuasaan Jokowi yang membatasi kekuasaan Prabowo, bukan hanya terletak pada orang-orang sekeliling Prabowo dalam birokrasi strategis dan kabinet pemerintahannya, sebagian besar loyalis Jokowi dan budak oligarki.

Satu-satunya motif sekaligus faktor fundamental Prabowo tidak bisa menjadi dirinya sendiri dan independen baik sebagai presiden maupun purnawirawan TNI, karena kepemimpinan Prabowo melalui pilpres 2024 lahir dari proses kejahatan konstitusi dan demokrasi serta tak ada meritokrasi dan prinsip-prinsip “good and clear goverments”.
Bagaimana mungkin negara bisa menjadi benar dan baik, jika pemimpinnya terpilih dari penyimpangan kekuasaan dan pemerintahannya diisi oleh orang-orang haus kekuasaan, korup dan manipulatif.

Sebagai presiden, Prabowo hanya mengukuhkan dirinya sebagai pemimpin yang sudah cukup puas dengan jabatannya, tanpa kinerja, effort dan capaian prestasi yang terarah dan terukur. Alih-alih melakukan dekonstruksi dan rekonstrusi Indonesia agar terwujud negara kesejahteraan. Prabowo malah menjadi presiden yang saat menjabat justru semakin kuat mendorong Indonesia menjadi “goverment less” dan “fail state”.

Dari analisisnya yang menggambarkan Indonesia akan bubar pada tahun 2030, Prabowo justru menguatkan itu saat ia menjabat presiden. Dari buku yang ia tulis yang berjudul Paradoks Indonesia, kini berbalik pada dirinya sendiri yakni paradoks Prabowo. Entah seperti kata pepatah ‘menepuk air didulang terpericik muka sendiri’ atau memang sudah menjadi takdir negara Indonesia.
Bangsa ini harus terima apa adanya meskipun kenyataannya sangat pahit, realitas dari paradoks Prabowo.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button