Dunia Islam

Serial Tahajud, Bagian 1: TAHAJUD, PERJUMPAAN PALING JUJUR DI SEPERTIGA MALAM

Oleh Edy Mulyadi, Wartawan Senior

Ada satu waktu ketika dunia seolah terdiam. Lalu lintas sunyi. Televisi mati. Notifikasi ponsel pun tak lagi sibuk berbunyi. Waktu itu disebut sepertiga malam terakhir. Sebagian orang sedang terlelap, dibuai mimpi. Sebagian lagi masih sibuk menunaikan syahwat duniawi. Tapi ada yang berbeda dari mereka yang bangkit, berwudhu, lalu berdiri menghadap Tuhan. Tanpa suara, tanpa sorotan. Itulah orang-orang tahajud.

Mereka tidak sedang mencari pujian. Tidak pula ingin dianggap saleh. Mereka datang membawa luka, tangis, syukur, rindu, juga pengaduan. Di hadapan Allah, mereka menggelar seluruh isi hati yang tak bisa mereka sampaikan kepada siapa pun. Di situlah tahajud menjadi ruang paling jujur. Tempat manusia kembali kepada fitrahnya: makhluk lemah yang butuh ampunan. Butuh petunjuk dan pertolongan.

Tahajud bukan sekadar shalat malam. Ia adalah bentuk munajat. Curahan jiwa paling dalam, yang Allah sendiri abadikan dalam firman-Nya:

وَمِنَ ٱلَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِۦ نَافِلَةًۭ لَّكَ ۚ عَسَىٰٓ أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًۭا مَّحْمُودًۭا

“Dan pada sebagian malam hari, bertahajudlah engkau sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra’ 17: Ayat 79)

Lihatlah: Allah menyebut tahajud sebagai “nafilah”, ibadah tambahan. Bukan wajib. Tapi justru lewat ibadah ini, manusia bisa diangkat ke maqām maḥmūda, tempat yang terpuji. Sebuah derajat mulia yang menurut banyak mufassir ditujukan pertama kepada Rasulullah SAW. Tapi juga terbuka bagi siapa pun yang meneladani jejak beliau.

Tahajud juga bukan rutinitas pasrah semata. Ia adalah ritus perlawanan sunyi. Tempat jiwa menguat, batin berbicara, dan tekad dibentuk. Di sinilah para Nabi, ulama, dan pejuang terdahulu memulai langkahnya. Di sinilah kebangkitan itu dimulai. Dari sajadah yang basah oleh air mata.

Allah memanggil kita di waktu itu. Saat dunia diam, Allah justru turun ke langit dunia, menawarkan tiga hal besar:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَىٰ كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا، حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرِ، فَيَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ؟ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ؟ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ؟

“Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun ke langit dunia setiap malam, pada sepertiga malam terakhir. Dia berfirman: Siapa yang berdoa kepadaKu, maka Aku akan kabulkan; siapa yang meminta kepadaKu, maka Aku akan beri; siapa yang memohon ampunan kepadaKu, maka Aku akan ampuni.” (HR. Bukhari no. 1145; Muslim no. 758)

Lalu apa yang membuat kita enggan bangun? Apakah nikmat buaian mimpi lebih indah daripada janji Allah? Apakah dunia lebih pantas diperjuangkan ketimbang perjumpaan dengan Tuhan, Sang Pencipta dan Penguasa alam semesta raya?

Kini kita hidup di tengah zaman edan. Ketika kebenaran dibungkam dan kezaliman dibela. Saat orang jujur digusur, dan para penjilat dan engkhianat dapat tempat terhormat. Tahajud adalah tiang ruhani yang membuat kita tetap waras dan teguh. Bukan karena kita suci. Tapi justru karena kita sadar betapa lemahnya diri ini, tanpa pertolonganNya.

Maka, ketika malam datang dan sepertiga terakhir menyapa, ayo bangkit. Bahkan jika hanya dua rakaat pendek. Karena bisa jadi, di situlah kita menjemput takdir yang tertunda. Kita mengetuk pintu-pintu langit yang selama ini terasa tertutup.

Ashsholatu khoirum minannaum… Selamat tahajud, saudaraku… Mari temui Allah di sunyi yang suci.

Jakarta, 1 Juni 2025

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button