Serial Tahajud, Bagian 2 : TAHAJUD DI MATA SALAFUS SHALIH, ULAMA, DAN PARA PEJUANG

Oleh Edy Mulyadi, Wartawan Senior
Tahajud bukan sekadar ibadah sunah di keheningan malam. Ia adalah warisan para nabi. Jalan para pejuang. Nafas orang-orang yang tak ingin hidupnya hampa tanpa Allah. Ulama salaf dulu menggambarkan tahajud bukan hanya sebagai bekal akhirat, tapi juga pondasi keteguhan jiwa di tengah zaman yang gelap.
Imam Hasan Al-Bashri pernah ditanya, “Mengapa orang-orang yang rajin tahajud wajahnya bercahaya?” Ia menjawab,
“Karena mereka menyendiri bersama Ar-Rahman di kegelapan malam, maka Allah pun memberikan cahaya-Nya kepada mereka.”
Begitulah salafus shalih memaknai tahajud. Mereka bukan orang-orang lemah. Justru karena mereka kuat dalam tahajud, mereka kokoh dalam amar ma’ruf nahi munkar. Imam Abu Hanifah, salah satu pendiri mazhab fiqih besar, dikenal menangis sepanjang malam dalam qiyamul lail saat membaca ayat:
بَلِ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَى وَأَمَرُّ
“Sebenarnya kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka, dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” (QS. Al-Qamar 54: Ayat 46).
Dia mengulang-ulang ayat ini semalam suntuk, hingga subuh. Karena ayat itu bukan sekadar bacaan. Tak keliru jika disebut ayat ini adalah hantaman kesadaran.
Tahajud adalah rahasia kekuatan mujahidin. Shalahuddin Al-Ayyubi melatih pasukannya dengan tahajud sebelum mereka dikirim menaklukkan Al-Quds. Baginya, pasukan yang tak bangun di malam hari, tak layak menang di siang hari. Ketegaran di medan jihad lahir dari air mata yang jatuh di sajadah. Bukan semata dari kekuatan otot dan senjata.
Begitu pula para ulama yang bangkit melawan tirani di Nusantara. KH. Hasyim Asy’ari dikenal dengan zikir panjang dan tahajud yang istiqamah. Doa-doanya di malam hari menjadi bara semangat bagi santri-santri yang kelak mengusir penjajah. KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, juga dikenal menghidupkan malam, menyiapkan kaum muda dengan kekuatan ruhiyah dan cita sosial.
Mereka tidak menjadikan tahajud sebagai pelarian. Justru sebaliknya, sebagai pangkal perlawanan. Ketika dunia tertidur lelap, mereka berdiri di hadapan Rabbul ‘Alamin, mengadukan segala derita umat, merajut kekuatan baru, membasuh luka dengan doa. Di saat malam memeluk bumi, mereka memeluk langit dengan tangis.
Itulah mengapa tahajud melahirkan jiwa yang bebas. Bebas dari belenggu ketakutan pada manusia, pada kekuasaan, pada dunia. Mereka hanya takut kepada Allah. Maka ketika mereka berdiri menantang penjajah atau penguasa zalim, itu bukan karena nekat, tapi karena yakin: bersama Allah, semua bisa dihadapi.
Hari ini, umat seperti kehilangan arah. Pengkhianatan jadi biasa. Penguasa bergandengan tangan dengan pemodal menindas rakyat. Saat inilah kita butuh kekuatan seperti itu lagi. Kekuatan yang lahir bukan dari rapat politik, bukan dari forum elite, tapi dari tangis malam yang tulus. Dari tubuh yang menggigil dalam sujud panjang.
Tahajud bukan ibadah orang alim saja. Ia adalah senjata siapa pun yang ingin hidupnya berarti. Yang ingin menjadi bagian dari kebangkitan. Maka mari kita warisi jalan ini. Jalan sunyi, tapi penuh cahaya. Jalan lelah, tapi membebaskan. Jalan para kekasih Allah, yang menolak diam dalam gelap zaman.
Jakarta, 2 Juni 2025