Opini

SIGIT, MUNDUR. TITIK!

Oleh Edy Mulyadi ( Wartawan Senior )

Jakarta, 28 September 2025

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo kembali bikin publik geleng-geleng. Di tengah desakan mundur pasca tragedi berdarah akhir Agustus, dia masih saja berkelit. Padahal aksi rusuh itu menelan korban 10 nyawa melayang, ratusan luka dan ditangkap. Boro-boro mundur, Sigit malah berkelit. Katanya, dia sudah bertanya ke para pejabat dan anggota Polri. Mereka sepakat: jangan mundur. Alasannya, mundur sekarang justru tidak bertanggung jawab.

Pernyataan ini jelas ironi. Ini jurus ngeles. Seolah publik bisa lupa, selama hampir lima tahun lebih memimpin Polri, apa tanggung jawab yang pernah Sigit tunaikan?

Ketika rakyat menuntut dirinya mundur, Sigit berdalih: mundur sama dengan tidak bertanggung jawab. Pertanyaan sederhana: kapan dia pernah bertanggung jawab? Saat Brigadir J. tewas? Saat mahasiswa ditembak? Saat puluhan aktivis digebuk? Saat rakyat dipaksa angkat kaki dari tanah leluhur demi proyek oligarki? Saat pemilu dicurangi di depan mata? Tak ada satu pun yang dijawab dengan tuntas.

Sigit ratusan kali terbukti sama sekali tak bertanggung jawab. Polri di bawah Sigit justru jadi bagian kartel rente. Dari tambang ilegal di Kalimantan, nikel di Sulawesi, sampai bisnis miras dan narkoba di banyak daerah. Semua ada jejak anggota polisi. Bukan rahasia, banyak perwira aktif justru jadi backing oligarki tambang dan sawit. Rakyat kehilangan tanah, hutan digunduli, konflik agraria berdarah-darah. Polri? Jadi centeng korporasi. Apakah pada skandal ini Sigit bertanggung jawab?

Hukum di tangan Polri berubah jadi komoditas. Barang dagangan. Kasus bisa naik-turun sesuai orderan. Mafia kasus tumbuh subur, dari level Polsek sampai Mabes. Dari kasus ijazah palsu elite, suap tambang, sampai skandal korupsi triliunan, semua bisa “disetel.” Rakyat kecil? Jangan harap dapat keadilan. Tukang ojek, pedagang kaki lima, atau mahasiswa yang demo langsung dihantam dengan pasal karet. Jadi, apa Sigit bertanggung jawab?

Lebih runyam lagi di panggung politik. Polri menjelma jadi wasit, supporter, sekaligus pemain. Dalam pilkada, pileg, hingga pilpres, netralitas aparat tinggal jargon. Ada calon yang dikerjain habis-habisan. Ada pula yang dipoles dan dilindungi. Tekanan, intimidasi, sampai kriminalisasi kerap dipakai untuk melicinkan jalan kandidat tertentu.

Fakta-fakta itu bukan rahasia lagi. Rakyat di banyak daerah tahu, menjelang pilkada selalu ada patroli intimidatif, penangkapan aktivis pendukung lawan, atau operasi hitam untuk melemahkan oposisi. Di Pileg, caleg yang berani melawan arus bisa digertak dengan kasus hukum. Dan di pilpres, siapa yang bisa menyangkal peran Polri dalam mengamankan skenario cawe-cawe Jokowi? Demokrasi tercabik. Diganti dengan pesta oligarki yang dibungkus “pengamanan negara.”

Jangan salah kaprah. Mundur di tengah desakan publik justru adalah bentuk tanggung jawab. Tetap bertahan di kursi empuk, itulah bentuk pengkhianatan. Pertanyaan Sigit kepada para bawahannya hanyalah mencari justifikasi. Mereka yang bilang tak perlu mundur hanya karena dua alasan. Pertama, ikut menikmati kekuasaan Sigit. Kedua, tak mungkin berani jujur berkata apa adanya. Persis guru killer di SMA yang bertanya kepada muridnya; saya ngajarnya enak, kan? Gak galak, kan?

Kalau cari pembenaran, kenapa tak sekalian tanya Jokowi. Pasti Jokowi akan menjawab, “kalau kamu mundur, siapa yang akan melindungi ijazah palsu saya dan pendidikan anak saya yang semrawut. Sudah, jangan mundur!”

Mari kita ingat. Di bawah Sigit, berulang kali polisi menjadi algojo bagi aktivis, mahasiswa, dan rakyat kecil. Dari kasus penanganan demo, sampai kematian mahasiswa seperti Iko Juliant di Semarang. Di mana tanggung jawab Sigit?

Dan Presiden Prabowo, kalau benar ingin berpihak pada rakyat, harus berani mencopot Sigit. Tanpa itu, janji perubahan hanyalah pepesan kosong. Berhenti omon-omon!

Karena sejarah mengajarkan, kekuasaan yang menutup telinga atas jerit rakyat, cepat atau lambat akan digulung badai. Kapolri boleh berkilah, tapi rakyat tidak bodoh. Semua sudah mencatat jejak kegagalannya. Kalau Sigit masih punya sedikit rasa malu, dia mestinya berhenti ngeles. Letakkan jabatan, buka jalan reformasi Polri dari akar.

Baiknya Sigit belajar dari Nepal. Perdana menterinya mundur setelah rumahnya dibakar demonstran Gen Z. Itu baru pemimpin yang paham arti akuntabilitas politik. Sementara di Indonesia, Kapolri justru sibuk main logika jungkir balik, cari alasan agar tetap bertahan di kursi empuk.

Prabowo harus sat set. Jangan sampai rakyat bertanya, apa Sigit perlu “diNepalkan?!”.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button