Opini

“SURAT ANAK KECIL KEPADA TUHAN DAN IJAZAH JOKOWI”

Oleh : Edy Mulyadi ( Wartawan Senior )

Jakarta, 23 Mei 2025

Arif masih duduk di kelas 1 SD. Dia menulis surat ke Tuhan. Bunyinya polos, mengiba: “Tuhan di Surga, tolong beri aku uang seratus ribu. Untuk beli obat ibu.”

Surat itu dikirim ke kantor pos. Petugas bingung. Tapi hatinya tersentuh. Dia lalu menyerahkan surat itu ke kantor polisi.

Para polisi pun ikut tersentuh. Mereka patungan. Akhirnya terkumpul Rp70.000. Uang itu lalu dikirim ke alamat si anak. Beberapa hari kemudian, si anak mengirim surat lagi:

“Terima kasih, Tuhan. Tapi kalau bisa jangan lewat polisi lagi. Soalnya mereka potong tiga puluh ribu.”

Anekdot ini lebih dari sekadar cerita lucu. Ia menyindir. Menampar. Ia menggambarkan betapa rakyat, bahkan anak kecil pun, tahu: polisi tidak bisa dipercaya. Bayangkan, polisi bermaksud dan berbuat baik saja tidak dipercaya. Apalagi jika mereka menyimpang. Reputasi dan kredibilitas korps baju coklat ini memang sudah benar-benar babak-belur!.

Maka, ketika Bareskrim Mabes Polri mengumumkan hasil uji laboratorium forensik bahwa ijazah Jokowi asli, publik sama sekali tidak kaget. Lagian, siapa juga yang kaget? Sudah bisa ditebak.

Sebaliknya, kalau polisi bilang ijazah UGM Jokowi palsu, nah baru kejutan. Beneran, nih? Tumben…

Beri Publik Akses, Jangan Main “Pokoknya

Rizal Fadilah, Wakil Ketua Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), memberi tujuh catatan soal hasil uji labfor itu.
Pertama, harus ada pendalaman dan pengkajian atas hasil uji forensik. Kedua, gelar perkara mestinya terbuka. Libatkan pengadu dan para ahli seperti Dr Roy Suryo, Dr Rismon, dan lainnya.

Ketiga, uji kertas, tinta, isi skripsi, tandatangan, hingga nama pembimbing Prof. Ahmad Sumitro, semua harus diurai saintifik dan transparan. Lalu keempat, siapa teman kuliah pembanding? Aslikah ijazah pembanding? Bagaimana dengan stempel yang tak utuh? Kelima, jika yakin asli, tunjukkan ijazahnya ke publik. Buka untuk uji bebas, di dalam dan luar negeri. Tak perlu lagi sembunyi di balik “tunggu perintah pengadilan.”

Keenam, kalau unsur pidana gugur, perdata masih berjalan. Putusan pengadilanlah yang final. Bukan Bareskrim. Itu pun dengan catatan, proses peradilannya harus bersih dari intervensi kekuasaan. Terakhir, ketujuh, pengadu dan publik harus bisa mengakses langsung ke hasil uji labfor.

Polisi tidak bisa dan tak boleh pakai jurus “pokoknya”. Pokoknya sudah kami uji di labfor. Hasilnya, ijazah jokowi otentik dengan ijazah pembanding. Ijazah Jokowi asli. Jadi publik harus percaya. Gimana harus percaya, lha wong semuanya serba gelap? Serba tertutup.

Lagi pula, kita berhadapan dengan institusi yang punya rekam jejak culas berkepanjangan. Skandal KM 50, Jessica Wongso, Stadion Kanjuruhan, kebrutalan Ferdy Sambo, dan berderet-deret jejak hitam lainnya. Ngerihhh…!

Ini bukan soal Ijazah Jokowi semata. Ini soal kejujuran akademik. Soal integritas institusi. Soal kepercayaan rakyat.

Dan jika kejujuran itu harus diproses lewat institusi yang kredibilitasnya sudah keropos, maka seperti kata anak kecil tadi: jangan titip lewat polisi. Jangan percayakan uji forensik ijazah bekas tukang kayu asal Solo itu kepada polisi!.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button