Terkait Pemahaman Hukum Antara Ijazah Asli-Palsu, Sebuah Studi Kasus

Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Penulis adalah:
- Anggota Dewan Penasihat DPP. KAI (Kongres Advokat Indonesia) Periode 2025-2030.
- Ketua Bidang Hukum & HAM DPP. KWRI (Komite Wartawan Reformasi Indonesia).
- Pakar Ilmu Peran Serta Masyarakat dan Kebebasan Menyampaikan Pendapat.
Ciri-ciri dan klasifikasi:
- Seorang subjek hukum tidak ikut ujian, tidak selesai kuliah, (ikut) foto wisuda punya skripsi. Dipastikan skripsi dan ijazah palsu. Perilaku kategori, melanggar norma hukum dan nir adab (amoral).
- Kuliah selesai dan ujian lulus, skripsi dibuatkan orang atau plagiat lalu ganti judul, dan tidak ikut wisuda. Skripsi & ijazahnya tetap asli. Perilaku melanggar adab dan moral.
Jokowi selaku penyelenggara negara (pejabat publik) dalam ilustrasi studi kasus kategori kasus nomor 1 apa yang nomor 2?
Lalu ternyata menyusul ada tuduhan (dugaan) dari sosok pakar IT yang memberikan informasi hasil analisis scientific, selebihnya para individu publik menganalisa secara fisik (kenyataan yang ada) berikut bukti putusan inkracht yang berasal dari vonis PN. Surakarta, PT. Semarang dan MA terhadap Eks Terpidana Gus Nur dan Terpidana BTM (Bambang Tri Mulyono), lalu bersama-sama menyatakan “Jokowi (empunya) pengguna Ijazah S-1 palsu”.
Kemudian berkembang para individu publik yang awalnya nyata tanpa kepentingan politik dan bisnis, ingin sumbangsih ilmu dengan mencari menemukan kepastian hukum serta keadilan terbentur dengan laporan yang datang dari Si Terduga publik yang dugaan didasari kumulasi bukti data empirik, yang dilakukan oleh si Pemilik Pengguna Ijazah palsu (Pelapor Jokowi).
Selanjutnya berjalan proses hukum dan memasuki pada tahapan penyelidikan, Penyidikan menuju proses meja hijau?
Oleh karena oleh sebab hukum, bahwa asas hukum pidana menentukan kewajiban menentukan putusan harus dilalui dengan proses mencari Kebenaran yang Sesungguhnya (kebenaran materil), bukan berdalil Kebenaran Formil. Apalagi hanya katanya sudah melalui proses laboratorium. Apa nya yang diuji melalui lab. Ijazah asli? Komparasi dengan ijazah siapa yang diuji? Adakah asli hasil uji lab dan sosok sosok pemiliknya. Semua harus ditampilkan dihadapan majelis persidangan. Karena kesaksian adalah “Keterangan yang Disampaikan Langsung Dihadapan Majelis Hakim Dimuka Persidangan” (vide KUHAP).
Dan berawal dari Penyidik selanjutnya JPU dan Para Hakim Wakil Tuhan Di Muka Bumi, wajib, berkeharusan berlaku objektif, profesional dan proporsional, untuk memeriksa dan mengetahui, tentang adakah landasan hukum atau perintah atau amanah hukum kepada Para TSK/ TDW dalam menyampaikan temuan, terhadap tuduhan (pelaporan) pelanggaran dimaksud? Ini relevansi dengan tujuan fungsi dan manfaat hukum demi kepastian dan rasa keadilan.
Walau verbal (katanya) yang diuji melalui Labfor digital tehadap objek benda dalam wujud ‘Kertas Asli’, pihak ahli yang didatang hadir kan oleh TSK atau Terdakwa harus dapat melihat & diberikan izin minta lihat hasil lab dan mengnalisis dengan menggunakan fasilitas laboratorium sendiri sebagai komparasi untuk menemukan hakekat kebenaran , kepastian dan keadilan, bukan yang katanya melainkan bukti materil (materiele waheeid).
Karena penjarakan orang tidak dipermudah oleh hukum, juga tidak dipersulit. Pastinya Hak TSK/ TDW harus bebas dan ekstra diperhatikan (diteliti secara seksamai) termasuk hakim memiliki hak fungsi kontrol trhadap karakter si pelapor, dan latar belakang jatidiri si pelapor, apakah identik dengan perilaku kriminal (tidak bermoral), hobi berdusta atau suka berbohong, menipu 100 X lebih? Jo. asas notoire feiten notorius (sudah sepengetahuan umum)
Oleh karenanya demi keadilan semua aspek hukum dan peristiwa harus digali, tidak melulu asas legalitas atau Negatief Wettelijke (conviction raisonnee), hakim mesti menggunakan dan berlaku progresif sebelum menjatuhkan vonis hukuman dengan metode menggunakan asas keyakinan hakim yakni conviction in time,
Jo. UU. Tentang Kekuasaan Kehakiman Jo. Vide KUHAP.
Serta ideal hakim butuh merenungi adagium para ahli filosof “lebih baik membebaskan 1000 orang bersalah dibanding menghukum satu orang yang nyata tidak bersalah” dan mengingat kelak bakal dipertemukan dengan Para Korban Kedzoliman di Mahkamah Akhirat.