Tito–Erick-Sigit: Beban Lama Dan Ancaman Bom Waktu

Oleh Edy Mulyadi (Wartawan Senior )
Semarang, 20 September 2025
Reshuffle 17 September 2025 meninggalkan tanda tanya besar. Dari sekian menteri yang diganti, tiga nama justru tetap dipertahankan Presiden Prabowo. Mereka adalah Erick Thohir, Tito Karnavian, dan Sigit Listyo Prabowo. Padahal, publik tahu betul ketiganya adalah bagian penting dari “warisan Jokowi.” Ditambah lagi, Jenderal Listyo Sigit masih aman di kursi Kapolri. Inilah yang membuat reshuffle jilid 3 17 September 2025 terasa ganjil. Ada bom waktu yang seperti sengaja tetap disimpan di dalam kabinet.
Erick Thohir jelas bukan orang sembarangan. Dia punya jaringan bisnis, akses modal, dan reputasi sebagai “anak emas” Jokowi. Masalahnya, semua orang tahu Erick juga bagian integral dari oligarki. Rekam jejaknya di BUMN menyisakan banyak catatan buruk. Mulai dari tumpukan utang perusahaan negara, bancakan proyek IKN, sampai dugaan penyelamatan bisnis kroni lewat kebijakan BUMN.
Jika Prabowo berharap Erick bisa menjadi jembatan dengan dunia usaha, risiko yang muncul justru lebih besar: Erick bisa menjadi pintu masuk oligarki untuk mengendalikan arah pemerintahan.
Tito Karnavian juga tak kalah kontroversial. Sebagai eks Kapolri, namanya erat dengan berbagai operasi politik Jokowi. Dari pengamanan pilpres, pengendalian demonstrasi, hingga dugaan pembiaran atas sepak terjang buzzer. Semua terjadi di bawah komandonya.
Tito tipe aparat yang piawai menjaga kepentingan penguasa, bukan rakyat. Ketika dia dipertahankan di kabinet, publik wajar bertanya: apakah Prabowo ingin melanjutkan gaya lama? Atau dia sekadar terpaksa menampung “titipan” penguasa lawas?
Listyo Sigit melengkapi gambaran ini. Eks Kapolres Surakarta saat Jokowi jadi Walikota ini dikenal sebagai Kapolri paling loyal pada Jokowi. Dia bahkan disebut-sebut rela menabrak aturan demi kepentingan sang mantan presiden. Kasus Ferdy Sambo, perang bintang di tubuh Polri, hingga dugaan permainan bisnis tambang dan narkoba di lingkaran aparat, semuanya terjadi dalam masa kepemimpinannya.
Selama Sigit masih bercokol, bayangan Jokowi di tubuh Polri akan terus ada. Bagaimana mungkin Prabowo bisa benar-benar mandiri jika kepolisian masih dikomando orang kepercayaan Jokowi?
Di sinilah letak masalahnya. Prabowo memang mulai menunjukkan keberanian melawan arus Jokowi. Indikatornya, dia mencopot beberapa loyalis Geng Solo. Tapi mempertahankan Erick, Tito, dan Sigit sama saja menyimpan bara di lumbung padi. Kapan saja bisa membakar. Bukan hanya merusak kredibilitas pemerintahan, tetapi juga mengancam stabilitas politik nasional.
Tentu, kita harus objektif. Prabowo butuh waktu. Presiden berhak atas strategi politiknya. Mungkin dia merasa belum saatnya mencopot ketiganya, atau masih menimbang keseimbangan kekuasaan. Tapi, publik juga berhak mengingatkan: bom waktu tak bisa selamanya dibiarkan. Cepat atau lambat, ia akan meledak.
Karena itu, Presiden Prabowo harus ekstra hati-hati. Jangan sampai kesetiaan pada rakyat digadaikan demi kompromi dengan oligarki dan sisa-sisa rezim lama. Reformasi sejati hanya bisa berjalan jika keberanian menyingkirkan “beban lama” benar-benar diwujudkan. Dan, rakyat yakin (setidaknya: berharap) Prabowo bisa. Semoga.