Serial Tahajud Bagian 5 : Tahajud Ruang Sunyi Menyucikan

Oleh : Edy Mulyadi, Wartawan Senior
Zaman ini adalah zaman penuh fitnah. Kebenaran dan kebatilan berbaur samar. Orang jujur digusur. Dia dianggap ancaman. Para pengkhianat dan penjilat dapat tempat dan jabatan terhormat. Pembohong dielu-elukan. Penyeru kebaikan disingkirkan. Sementara yang mengajak maksiat justru dijadikan panutan.
Di tengah kekacauan nilai ini, jiwa bisa limbung. Hati bisa mati. Dan satu-satunya jalan untuk bertahan, adalah dengan terus menambatkan ruh pada langit: lewat tahajud.
Tahajud bukan sekadar ibadah sunah yang boleh dikerjakan atau tak masalah ditinggalkan. Ia adalah benteng spiritual yang membentuk daya tahan iman. Tekanan dunia datang dari segala arah. Fitnah jabatan, harta, kekuasaan, dan syahwat bertubi-tubi. Tahajud jadi ruang sunyi yang menyucikan. Di situlah ruh kembali disiram, disegarkan, dan diteguhkan. Siapa pun yang ingin tetap hidup sebagai manusia merdeka, mesti menjadikan tahajud sebagai kebutuhan, bukan sekadar pilihan. Apalagi beban yang menyebalkan.
Imam Ahmad bin Hanbal, ulama besar yang dicambuk dan dipenjara karena menolak tunduk pada penguasa zalim, dikenal sebagai ahli tahajud. Di dalam gelapnya sel penjara, beliau tetap bangun malam. Menangis di hadapan Allah. Mengadu tentang luka umat dan beratnya ujian. Dia kuat, bukan karena wataknya keras, tapi karena jiwanya kokoh ditopang tahajud. Ulama besar ini tahu: kekuatan hakiki bukan terletak pada fisik, tapi pada ruh yang terhubung dengan Rabbul ‘Alamin.
Nabi SAW juga bersabda:
“Berpegang teguhlah kalian pada malam hari dan shalat tahajud, karena itu adalah jalan orang-orang saleh sebelum kalian, dan cara mendekatkan diri kepada Rabb kalian, penebus kesalahan, pencegah dosa, dan penolak penyakit dari tubuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Zaman fitnah ini membuat orang mudah kecewa, mudah putus asa. Gampang tergoda untuk berhenti berjuang. Tapi tahajud mendidik kita untuk tetap kuat meski dalam kesendirian. Ia memberi keteguhan, bahwa perjuangan tak selalu harus disambut sorak-sorai dan tepuk tangan ✋manusia. Cukup jika Allah ridha.
وَٱصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِٱللَّهِ ۚ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِى ضَيْقٍۢ مِّمَّا يَمْكُرُونَ
“Bersabarlah, dan kesabaranmu itu semata-mata karena Allah. Jangan bersedih terhadap mereka dan jangan pula merasa sempit terhadap apa yang mereka rencanakan.” (QS. An-Nahl 16:127).
Bangsa ini butuh orang-orang yang kuat jiwanya. Tidak mudah dijual dengan jabatan. Tak gampang dibungkam dengan intimidasi. Tapi kekuatan seperti itu tak lahir dari seminar motivasi, apalagi dari sekadar marah-marah di media sosial. Ia lahir dari malam-malam yang basah oleh air mata. Dari sujud panjang yang penuh keluhan dan permohonan di hadapan Allah. Dari tahajud yang menumbuhkan keteguhan ruhani.
Mari kembali ke tahajud. Sebelum fitnah dunia benar-benar membuat kita hanyut. Sebelum hati beku. Sebelum mata tak lagi mampu menangis karena kebenaran.
Jakarta, 5 Juni 2025