Bahaya SIM Palsu Atau Ijazah Palsu?

Oleh : Damai Hari Lubis ( Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukim dan Politik) )
Jakarta, 15 Juni 2025
Sepertinya para petinggi pemangku kekuasaan politik di negara ini perlu menggunakan analogi perbandingan demi kehidupan sosial dalam berbangsa dan bernegara yang berkepastian, tentang dampak negatif antara sosok pengguna SIM (Surat Izin Mengemudi) Palsu atau tidak punya SIM namun mengemudikan kendaraan, dibandingkan dengan “mencuri gelar atau menggunanakan ijazah palsu” lalu berkerja atau memiliki jabatan struktural atau fungsional sebagai pejabat publik atau menjadi seorang (layaknya) pemimpin tinggi penguasa negara.
Sulit menemukan kerugian negara terhadap perilaku pada kasus terkait SIM. Namun dari sisi pandang kewajiban setiap warga negara, yang dituntut mematuhi setiap norma-norma ketentuan hukum, maka deskrpisi perilaku keduanya sama sama melanggar adab/ moralitas.
Namun perilaku terhadap sebuah SIM (Surat Izin Mengemudi), dari sisi kerugian negara tidak sedahsyat penggunaan terhadap ijazah palsu. Karena negara tetap diuntungkan dengan adanya transaksi jual beli kendaran dan masa perpanjangan pajak kendaraan dan bea balik nama (income negara sektor pajak).
Namun, seorang yang menipu jatidirinya gelar atau ijazah palsu, yang tidak berkualitas lalu sengaja mengejar jabatan pubik, lalu lacur ternyata berhasil.
Maka dapat dibayangkan jika si penipu berhasil menjadi kepala negara. Tentu bakal menjadi pemimpin yang tidak profesional dan dampaknya tidak hanya akan merusak moralitas dan mentalitas kepemimpinan bangsa, namun bakal menghàncurkan dunia edukasi (sektor pendidikan dan ilmu pengetahuan), termasuk berdampak ke seluruh sektor panting dalam kehidupan bangsa dalam sebuah negara, yakni ekonomi, hukum serta adab dan budaya serta dunia ilmu pengetahuan (scientific), sehingga akhirnya melemahkan kekuatan pertahanan negara dari Sabang hingga Merauke, sampai dengan tapal batas teritorial negara ini (juga batas laut).
Oleh karenanya dibutuhkan antisipasi termasuk kepastian hukum dengan sanksi hukum sebagai efek jera bagi seorang pengguna ijazah palsu agar tidak lahir ditengah kehidupan sosial dan politik bangsa ini.
Dan dari sisi moralitas betapa tak beradabnya andai seseorang sejak awal sudah sengaja berencana walau dirinya sekedar tamat SMP atau SMA namun mengaku tamat S-1 dengan cara menipu dengan pola menggunakan Ijazah palsu atau ijazah orang lain, dan ketika diketahui publik kejahatannya, justru individu-individu anak bangsa yang mengetahui dan membongkar temuan hukum tak bermoral malah dipenjarakan? Karena si penipu sudah mencapai mimpinya duduk ditampuk kursi kekuasaan, jika ada penguasa zolim seperti ini betapa bodohnya para pemimpin negara dibuat si penipu dan betapa tragisnya nasib bangsa ini kedepannya?
Maka analogis komparasi ini yang cukup realistis, butuh solusi yang tepat, karena di Ibukota Negara RI (bukan di IKN Senajam yang selintas info sudah menjadi “kota hantu”) Jakarta, hampir setiap hari di jalan raya tertentu dan pada jam kerja yang sudah ditentukan (pagi dan sore) diluar hari libur, akibat program lalu lintas Seri Nomor Polisi Genap Ganjil, si pelanggar di stop berikut SIM A nya dipertanyakan oleh aparat kepolisian, belum lagi razia resmi, termasuk setiap hari disetiap prapatan kendaraan yang plat nomor tahunnya nampak kadaluarsa, polisi lalu lintas langsung memberhentikannya, lalu tak lupa menanyakan SIM C, A sesuai jenis kendaran.
Mungkin dari analogi perbandingan ini, Rapat Kabinet Lengkap yang dipimpin langsung oleh Presiden RI dengan dihadiri diantaranya seluruh Menteri KMP atau andai rapat kabinet terbatas maka dibutuhkan setidak-setidaknya kehadiran Menkopolhukam, Menhan dan Kapolri serta Para Pimpinan Wakil Rakyat (DPR RI sesuai komisi terkait), bersama Menteri PANRB, dan Menteri Keuangan karena SIM merupakan salah satu masukan keuangan negara di sektor pajak di semua daerah/ provinsi serta Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), urusan pendidikan tingkat dasar dan menengah. Kementerian Kebudayaan: Menangani urusan kebudayaan. Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek): Menangani urusan pendidikan tinggi, sains, dan teknologi, termasuk kementarian lain yang memiliki korelasi adminstrasi (tata) negara dan hukum.
Adapun kebutuhan rapat kabinet adalah terkait program Nasional (Pronas), pengawasan terkait penggunaan ijazah palsu oleh pejabat publik? Agar semua pejabat dan aparatur negara mesti jujur, beradab/ bermoral dan profesional sesuai jabatan dan fungsi atau peruntukannya , sehingga:
- Negara urgensial dan prioritas antisipasi penggunaan ijazah aspal (asli tapi palsu) pada semua ASN ditanah air;
- Semua pejabat di kementrian dan lembaga eksekutif, termasuk di lembaga legislaltif dan yudikatif di seluruh tanah air.
- Sebelum program dimulai butuh analisis yang urgensial dan prioritas, untuk rancangan dan pola atau tehnis pelaksanan program dan dan dampak dua sisi (positif-negatif) dari metode razia ijazah palsu.
Sehingga nampak keseriusan negara mencegah orang-orang yang tak bekualitas untuk tidak menduduki jabatan karier dan strategis disemua kementrian temasuk jabatan politik, karena implikasinya berkejelasan, karena tidak profesional tidak proporsional serta tidak kredibel. Sebaliknya hanya melahirkan kerugian politik ekonomi dan pembangunan hukum nasional, melemahkan persatuan dan ketahahan nasional.
Razia ijazah bermanfaat bagi seluruh bangsa, wujud preventifikasi agar figur/ sosok yang berpendidikan rendah, misal sekedar tamat SMP namun “mencuri gelar” S-1 atau D-1, ketika berkuasa dengan ilmu pengetahuan yang minim dan amat terbatas, malah memimpin dan mem-briefing para jendral dan para alumni Akmil dan Akpol serta para rektor (akademisi), para pejabat yudikatif Ketua MA, Kajagung RI dan para hakim, para perwira tinggi dll penyelenggara negara dan para petinggi negara, temasuk para anggota legislstif yang terhormat, lalu setelah diberi arahan para jendral dan lain-lainnya berdiri memberi hormat kepada pemimpin yang sekedar lulus SMP?
Jika ini terjadi Negara RI indonesia Tercinta, alamat bakal mengalami kiamat besar, maka analogi ahli medis “mencegah lebih baik daripada mengobati”, segera perlu diterapkan.